Selasa, 04 Desember 2012

_tetap saja sama_

“ree, kmu koq senyum-senyum sendiri..,, ow ow ada apa nich, kayanya ada somethin’ wron’ nich..?!” tanya Fikha sambil melihat disekitarnya.
“lucu” gumamku pelan
“kamu zaiko kalli ya, cpetan sist entar kitq telat nich..!!” ketus Fikha seraya menarik keras tanganq
“sist, kamu liat engga anak itu..?” tanyaku sambil menggigit kuku sendiri
“yang mana..!?” tanya Fikha sdikit penasaran
“itu yang lagi duduk” jawabq kearah wajahx seakan memberi petunjuk
“oooowwwwwhhhhh anak kecil itu,, ya ampun sist, kirain kamu liat apa an..!!” ucap Fikha dengan nada sdikit kezel
“dari tadi tuch dia senyum-senyum ke kita..!!”
“senyum kekamu maksudnya..!! ucap Fikha dengan wajah malas
“tapi lucu kan sista..??” tanyaku manja
“iyya,, iyya,, ngegemesin malah” jawab Fikha senyum dengan nada ketus
“kenapa seeh sist kayanya kamu g seneng githu..??” tanyaku sedih sambil berlalu
“sista, dia tuch anak kecil” tegas Fikha mengikuti langkahku
“makanya aku bilang lucu” ucapku masih dengan nada yang sama
“tapi kamu kan sudah punya anak kecil+lucu+manizz malah” jelas Fikha sedikit menenangkanku
“tapi kan ini beda..!?
“tetep aja sama..!!” kilahnya dengan nada lantang
“sama apa nya” jawabku spontan menatap wajahnya dan menghentikan langkahku sejenak
“ ya sama-sama anak kecil dodol…!!” ucapnya dengan gaya yang sama
“ya juga sich..!!” jawabku pelan dengan wajah tersenyum
“udah akh kita ada kelas lho sekarang, si Rena udah nunggu tuch entar marah lagi..!?”
“y udah,, tapi jangan cerita ke Rena yach kita telatnya kenapa..!?” pintaku manja dengan menghentikan langkahku sambil memegang tangan Fikha
“yuuppsss pastinya sist..!!” jawab Fikha senyum meyakinkanku
lonely room | 2010 |

_dude_

 saat aku tak lagi bersahabat dengan kebersamaanya | kalian coba tuk mengalihkan semangatnya | seakan membawanya larut dalam senyumanmu | tapi dimatanya tersimpan harapan yang hanya terlihat olehku | betapa inginnya dia kembali ke masa itu | masa di mana kebersamaan itu selalu terhabiskan | meski terselip sedikit rasa yang abadi | hanya saja terangkuhkan oleh keadaan |

lonely room | 210212 | 9pm |

_biarkan_

biarkan aku tenggelam dalam diammu | biarkan aku larut dalam kebingunganku sendiri | biarkan aku terbawa dengan semua pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab |akan ada waktu yang tak bisa kau sentuh sepertiku | yang bisa buat hatimu berontak meski tak terlihat |
                                                                                                    
  lonely room |200212 |8.30pm |

_rumit_

Hey  kamu si rumit | kenapa sulit kupecahkan | menerka saja tak mampu | seperti apa tulisan di benakmu | ingin sekali kudengar lantunan hatimu | yang kau senandungkan melalui nafas | yang tersampaikan ke udara | hey kamu si rumit | detikmu saja seperti tak pernah sama | dan kenapa teka-teki itu itu kau tujukan padaku |
                 Lonely room | 150912|8.50pm |

_selalu_

Selalu saja waktu berpihak padaku untuk sendiri | bukan tidak mencari | apalagi menyombongkan diri | hanya saja memilih untuk tidak didekati | tak ingin terjadi lagi | tentang apa yang pernah terjadi | kini hanya bisa menanti |untuk orang yang mengerti | yang bisa merubah hidupku dikemudian hari | tak peduli selalu sendiri | hanya karena menanti meski harus dia yang hadir kembali | dengan membawa janji yang pernah ia beri | setidaknya bisa memberi arti | bahwa diri ini memang hanya untuk dicintai |
Lonely room | 110908 |08.30pm |

_sendiri_

Kucoba untuk jalani | tidak untuk jatuh hati | dan berbagi dengan sahabat sendiri | kujauhkan mataku dari pandangan indah | begitupun cerita indah untuk sahabat | kuingin jalani | meski ada sesuatu dihati | tapi tidak untuk berbagi | dengan lelaki atau sahabat yang ada dihati | yang tak pernah bisa mengerti | kuingin jalani sendiri | kuingin simpan sendiri | kuingin rasakan sendiri | karena kuyakin itu pasti |
Lonelyroom | 150808| 8.42pm |

_kataku_

kusampaikan pada langit nan megah | tentang angin yang  tak bisa menerjemahkan waktu | hatiku kala itu tak bernuansa | mengadu keindahan melalui mata | yang tak henti kupandangi di ujung cakrawala | sungguh awan tak bisa membentuk senyumku | yang terbiasa terkirim dipagi yang cerah | ingin kulukiskan seperti apa hatiku | tentang harap yang tak berkesudahan | kuliarkan juga tak ada asa |buat apa aku bertahan tentang pertanyaan yang tak tersampaikan | biar kulantunkan dengan syair-syair indah melalui irama | setidaknya bisa menjadi doa kepada penguasa langit nan semesta |
Lonely room | 201012 |1.14pm|

_take me to the star_

Lima tahun berlalu setelah empat tahun melepas hubungan tanpa pertemuan setelahnya. Jelas sukar menggambarkan wajahnya seperti apa sekarang karena perubahan itu pasti. Hanya sekali bertemu dalam empat tahun itu. Sesekali mencari wajahnya dalam ingatan yang menurutku sudah berbeda karena waktu. Sungguh diluar logika bagaimana mempertahankan kisah seperti itu. Tak pernah jadi masalah karena semua berdasar kepercayaan dengan menganggap kita seperti sudah tertakdir. Awal terpisah, komunikasi tetap berjalan dan kadang masih merasa kalau kita terikat seperti sebelumnya. Meski hanya melalui benda mati yang bernama ponsel yang hanya kuijinkan mendengar suaraku melalui lempengan-lempengan besi tanpa gambar yang bergerak. Jejaring sosial pun seperti tak menjalankan fungsinya tentang aku dengannya. Padahal di zaman teknologi ini menjanjikan banyak fasilitas untuk bertatap muka. Bukan itu yang menjadi pikiranku kala itu tapi alasan yang kuat kenapa hanya suaraku yang terdengar.
Empat tahun lalu komunikasi itu terputus. Dan tujuh tahun lalu terakhir aku melihatnya. aku memilih diam dalam harapan tentang rasaku yang tak berkesudahan.
Long distance relationship, seperti itu kata mereka tapi mereka tak pernah tahu seperti apa kisahku dengannya, seperti apa juga aku terpisah olehnya. Biyan, sekarang usianya genap 27 tahun. Pasti sudah mapan dengan pekerjaan yang dimilikinya yang sedari dulu diimpikan. Tak bisa kupungkiri kalau aku masih merindukannya seperti aku banyak berharap menemuinya.
Waktunya pun tiba. Tiket pesawat sudah terbeli yang harusnya ini kulakukan setelah dia menemuiku. Semua tak bisa berjalan sesuai keinginan. Aku hanya terus berencana meski aku harus kehabisan air mata bahkan sampai berlutut seperti melepas status dihadapan ayah sendiri yang tak pernah memberi restu sejak awal. Tak pernah aku membayangkan kalau pengorbanan rasanya seperti apa. Ratusan mil kulalui hanya untuknya. Kali ini aku fahami seperti apa Biyan menemuiku dulu.
Semua telah kuatur sedetail mungkin. Rendy yang menjadi media penghubung aku tentang Biyan. Rendy yang akan menjalankan skenario dariku. Aku tak punya niat jahat hanya meminta bantuan yang Rendy sendiri menawarkan jasanya. Rendy sahabat Biyan dan Rendy juga telah menggenggam kisahku seperti apa aku dengan Biyan.
“rend, sekarang aku dah tiba di bandara. Kamu dimana..??” tanyaku melalui ponsel
“aku dah nunggu kamu 15 menit lalu di sini..!!” balasnya dengan nada senyum
Kulihat Rendy melambaikan tangan setelah aku memberi tanda. Tak banyak cerita aku dan Rendy. Mungkin karena aku sedikit lelah dan Rendy cukup peka hal itu. Rendy mengantarkan aku ke tempat yang sudah ditentukan. Kamar yang menurutku cukup untuk aku tinggal sendiri.
Malam membawaku kesuatu tempat dimana telah dijanjikan oleh Rendy untuk memulai cerita.  Bukan hanya itu Rendy seolah menjadi guide buatku. Dengan menjelaskan berbagai tempat yang tak pernah kukunjungi sama sekali.
Empat hari aku baru memberanikan diri menemui Biyan. Seperti sebelumnya Rendy menjadi penghubung yang menurutku membuka jalan untuk aku dan Biyan
Suatu siang ketika Rendy membawaku menemui Biyan di sebuah tempat yang cukup menenangkan pandanganku. Sungguh hari yang kunantikan sekaligus buatku tak tenang. Benar aku tak mengenali wajahnya kecuali sedikit senyum yang dulu ia berikan padaku kali pertama bertemu.
                “uuppssss, sorry telat dikit, tadi jemput teman dulu..!!” jelas Rendy kepada Biyan sambil mempersilahkanku duduk
“ engga apa-apa..!!” jawabnya senyum
“oh ya kenalin, ni temanku..!!”
“hay, aku Letiyza..” ucapku senyum menyodorkan tangan sambil memandang penuh wajahnya
 “Biyan..!!” ucapnya singkat dengan membalas senyumku
Kubiarkn Rendy mengobrol lama dengannya termasuk kedatanganku. Hanya sesekali aku masuk dalam pembicaraannya. Sedikit demi sedikit kunikmati wajah Biyan yang menurutku sama sekali tak mengenaliku. Kemeja coklat yang pas dibadan menjadikan wajahnya yang putih terlihat manis Tapi tidak dengan suaraku. Hampir setiap kata yang kuucapkan begitu buatnya terdiam seakan mencari dari mana asalnya.
Sejam berlalu begitu saja tiba-tiba ponsel Biyan bordering. Entah apa yang dibahasnya. Sepertinya dia berbicara dengan rekan kerjanya.
“sorry niih, aku engga bisa lama-lama. Ada telepon dari kantor..!!” ucapnya senyum kebingungan
“oowwhh engga pa-pa, dah waktunya juga kamu masuk..!!” jawab Rendy
Aku tersenyum membenarkan kata Rendy. Melihat Biyan bergegas meninggalkan meja membuatku tersenyum simpul.
“Letizya, nama yang bagus buatmu treez..!!” ucapan Rendy mengagetkanku
“iyya, nama yang menurutku sempurna kedepannya..!!”
Rendy sedikit tersenyum kebingungan dengan mengangkat kedua alisnya lalu mengantarku pulang sebelum dia ke kantor.
“Rend, makasih yach dah bantu, tentang aku dan Biyan biar aku sendiri yang ngomong..!!”
“yakin..??”
“harus yakin..!!” jawabku sedikit semangat
“iyya, tapi kalo kamu butuh bantuan, hubungi aku..!!”
Aku tersenyum ikhlas kearah Rendy dalam hati aku berucap syukur terima kasih buat hari ini.
Hari ketujuh aku di kota Biyan. Aku memberanikan diri datang ke tempat kemarin dimana aku bertemu dengannya. Sore perlahan membawaku kesana. Aku suka danau kecil itu. Bisa buatku tenang dan berpikir tentangnya. Kunikmati udara serta angin kecil yang sedikit meniup rambutku
“hai Letiyza, engga nyangka ketemu disini, sendirian, Rendy mana..??”
Tiba-tiba suara Biyan mengagetkanku dengan penuh pertanyaan yang berdiri tepat di hadapanku
“hai Biy, iyya sendiri aja, Rendy engga tahu mungkin masih di kantor..!!” jawabku kaku
Seketika itu aku mulai sedikit akrab dengannya dengan membiarkannya duduk tepat disampingku. Sebelum Biyan bertanya banyak tentang Rendy aku berusaha tenang menjelaskan keberadaanku di kota ini dan hubunganku dengannya. Seperti tak ada masalah buat Biyan karena dia tak tahu yang sebenarnya.
“Letiyza kamu….!?”
                “panggil aku Tiyza..!!”
                “Tiyza, nama yang lucu.., oh yach kamu kesini ngapain..??” sambil mengerutkan dahinya seprti terlihat memikirkan sesuatu
“engga ngapa-ngapain, seneng aja disini, kamu sendiri..??”
               “bertahun-tahun aku memang sering kesini. Bisa dibilang tempat ini jadi saksi buatku sekaligus pendengar yang baik kalau aku lagi senang, sedih, galau atau apalah sejenisnya. Meski tak pernah bisa jawab tanyaku tapi aku menikmatinya..!!” jelas Biyan sedikit tersenyum
                Hanya berbincang hal biasa waktu tak terasa berlalu. Senyumnya membuyarkan fantasiku yang sedkit berimajinasi tentangnya seperti beberapa tahun silam.
 “oh yach dah magrib, pulang yuk..!?” ajak Biyan
“iyya,,!!”
“pulangnya naik apa..??”
“jalan kaki, tempat tinggalku deket koq dari sini, engga cukup 100meter..!!” jawabku senyum
“engga pa-pa biar aku antar, dah magrib juga niih..!!”
Kubiarkan Biyan mengantarku pulang dengan motornya. Tak ada yang bisa terucap selain menunjukkan arah tempat tinggalku.
“oowwhhhh ngekos di sini..??” Tanya Biyan
“yeach seperti itulah..!!” jawabku
“ya dah aku balik yach..!!”
“makasih ya Biy..!!”
“iyya..!!” jawabnya singkat, sesingkat senyumnya
Kupandangi terus sosoknya yang perlahan menjauh sampai deru motornya tak terdengar. Tak tahu seperti apa benakku selain senyuman yang tak jelas di wajahku.
Malam mengajakku berpikir tentang Biyan dan danau kecil itu. Aku harus ketempat itu lagi. Tempat itu seperti jadi petunjuk buatku. Kucoba hubungi Rendy, menceritakan semua yang terjadi. Rendy tersenyum. Hanya sekali dia merespondku.
“treez, apa yang kamu mau, akan kamu dapatkan di sana..!!”
Seperti itu kata Rendy sebelum menutup telpon dariku. Sejenak keningku mengerut yang tak mengerti maksud ucapannya.
Dua hari setelahnya. Aku coba ke danau kecil itu lagi. Hampir sejam aku menunggu kedatangannya. Dan bayangannyapun tak nampak. Wajahku terlihat sedikit tanpa senyum. Menunggu hal yang tak terjanjikan, aku berusaha tenang duduk manis di bangku itu meski tak setenang wajahku.
Kucoba mencari sosoknya dengan memainkan bola mataku sampai kearah yang tak bisa kujangkau. Karena kecewa, aku meninggalkan tempat itu. Baru beberapa meter aku beranjak dari bangku. dari jauh kulihat Biyan berdiri sendiri, tak jelas apa yang dilakukannya. Yang kulihat tatapan matanya kosong.
Aku melangkah mendekatinya. Berjalan lambat hanya tak mau merusak pikirannya. Sedikit kaget melihatku dan mataku menatapnya bingung.
“hay Biy, sudah lama di sini..?!” tanyaku pelan
“hay, mmmm sorry tiyza, aku harus pulang..!!”
Spontan Biyan membalikan badannya lalu melangkah menjauhiku.
“nunggu seseorang..!?” tanyaku lagi
Biyan seperti tak menggubris tanyaku. Hanya tersenyum lalu berjalan dan menayakanku hal yang tak penting.
“mau di antar pulang..?!”
“engga usah, aku masih mau disini..!!”
“kenapa kamu sering kesini..?!”  tiba-tiba tanyanya terdengar sedikit kesall
“seneng aja..!!” jawabku sedikit kaget sambil memainkan tali tasku
“jujur, aku sedikit engga suka melihat kamu sering duduk di bangku itu..!!”
“kenapa, kan untuk umum..??” Tanyaku bingung menatap wajahnya yang tanpa senyum
Biyan lagi-lagi tak menggubrisku. Dia pergi begitu saja. Hatiku kesal. Wajahku berubah jadi tak menarik yang tadinya senyum setelah melihatnya kini berubah drastis.
Sesampainya di rumah. Aku seperti kesal sendiri. Jelas wajahku terlihat gelisah dan juga sedikit takut tentang Biyan. Ingin sekali kuceritakan pada Rendy. Tapi tak ingin menyibukkan Rendy terlalu lama tentang kisahku. Kucari cara sendiri seperti apa sikapku ke Biyan. Aku tak mau terlalu berlama-lama menjelaskan siapa diriku dan tujuanku ke sini.
Hari ini aku datang lebih awal ke tempat itu. Biar aku bisa merenung dan mencari kata-kata yang tepat untuk Biyan. Sungguh aku menikmati udaranya yang sejuk. Angin kecil seperti membisikkanku kalimat yang tak jelas. aku tersenyum kecil meski sesekali wajah Biyan terlihat jelas di otakku.
Syaraf dan motorikku bekerja dengan sempurna. Seakan jantungku terdengar memompa darahku yang mengalir hangat. Lagi-lagi Biyan memamerkan wajahnya yang tak lagi bersahabat. Tapi kali ini nyata bukan fantasy dalam otak dan perasaanku. Wajahku seketika memerah.
                “sudah berapa lama kamu duduknya..!!” Tanyanya datar
                “lumayan..!!” jawabku dengan nada yang sama
                “siapa yang kamu tunggu..?!”
                “seseorang yang angkuh yang tadinya baik kini berubah jadi pemarah..!!” sindirku
                “sorry soal itu..!!”
Biyan mulai bercerita sedikit demi sedikit. Perlahan tentang pekerjaan dan kegiatannya sehari-hari, Kini kucoba cari tahu tentang kehidupan pribadinya. Memberikan berbagai pertanyaan yang cukup halus biar tak jelas maksudku. Biyan menjawab seadanya. Seperti yang diceritakan Rendy padaku sebelumnya. Biyan juga menjelaskan tentang wanitanya yang takut ketinggian, pencita fireworks, penikmat bintang, penggalau malam. Biyan juga menjelaskan kenapa dia memilih danau kecil ini. Itu karena wanita yang disayanginya takut dengan pantai laut atau sejenisnya. Biyan begitu jujur tapi sejenak dia berhenti ketika dia mulai membahas lebih jauh tentang wanita yang sangat ia sayangi. Hatiku miris mendengarnya. Betapa Biyan merindukanku. Betapa tersiksanya dia menungguku. Ingin sekali kuteriakkan kalau ini aku. Wanitanya yang selalu dirindukan.
Kutahan air mataku. Tak kubiarkan setitikpun tumpah, karena aku belum siap. Belum siap akan reaksinya yang menurutku akan menjauhi sekaligus membenciku. Dan sekarang aku tahu kenapa Rendy mencarikanku tempat tinggal yang dekat danau kecil itu.
Malam pukul 10 lebih secara organik tubuhku harusnya sudah menjadi rileks. Organ-organ penting dalam tubuhku seperti pangkreas, lever dan ginjal harusnya  terjadwal untuk beristirahat. Nada panggilan dari ponsel mengagetkanku yang tiba-tiba terbangun dari tidurku. Entah apa yang terpikir setelah mendengarnya. Persepsi dan emosiku menyatu.
                “besok jam 2 siang Biyan nunggu kamu di tempat biasa..!!” suara Rendy mengagetkanku tanpa kata pengantar sebelumnya
“maksudnya..??” tanyaku terkejut seakan meniup kencang kuping Rendy
                “iyya tenang dulu, tadi Biyan nelpon, nanyain nomor kamu, tapi aku bilang sekarang aku engga di rumah, ponselku yang satu tertinggal. Pokoknya aku nyari alasan biar Biyan engga tahu nomor kamu. Pasti runyam kan. Makanya Biyan titip pesan buat kamu..!!” jelas Rendy
                “syukurlah. Thanx yeach Rend, kamu memang yang terbaik..!!” ucapku senyum
                “terbaik apa dulu..?!” balasnya sama
                “hahahaha, jadi teman lah..!!” candaku
                “dasar..!!”
                “mang kamu ngapain ekarang..??” Tanya Rendy
                “tidur..!!”
                “ ya dah tidur aja, engga usah mikir tentang Biyan dulu. Alfa, Beta, Teta kamu butuh istirahat..!!”
                “iyya-iyya, kamu bisa aja..!!”
Benar kata Rendy tak kubiarkan kumpulan logikaku menganalisis pesan Biyan yang akan membuatku tak tidur hanya karena berteka-teki sendiri. Pikiranku harus kukelola dengan sedemikian baik mengingat fugsinya yang sangat vital hanya untuk menjaga dan mendampingi perasaanku yang sekarang tak tentu.
Pagi membangunkanku berharap harapanku cerah secerah mentari. Pesan itu membuatku menunggu. Menunggu waktu untuk menemuinya. Namun setelah terbangun kulakukan banyak aktivitas yang positif agar ingatanku tak teralihkan tentang Biyan. Kuputuskan untuk menemuinya tanpa persepsi penuh atau anggapan sendiri di kepala. Apa yang terjadi setelahnya mungkin itu menjadi takdirku sendiri.
“hai Biy, dah lama..??” tanyaku melempar senyum ke arahnya
“engga..!!”
“katanya menungguku, ada apa..!?” tanyaku lembut
Seperti itulah Biyan, jawaban akan terasa singkat jika pikirannya sedang kalut atau bahkan hanya terjawab dengan senyuman.
Tanpa basa-basi Biyan bercerita tentang sosok wanita yang selalu dinantinya.
                “namanya Treezna, aku mengenalnya saat usiaku masih 18tahun. Rendy yang ngenalin aku. Meski tak pernah bertemu sebelumnya aku begitu akrab dengannya. Dan mulai menjalin hubungan. Karena jarak menjadi masalah, aku tak bebas menatap wajahnya. Hanya foto yang aku punya tapi sekarang sudah tidak setelah memutuskan untuk berpisah. Enam bulan membuatku tak tenang tampanya. Kucoba lanjutkan lagi hubungan itu dia menerima tawaranku. Dua tahun kemudian aku baru bisa menemuinya. Kali pertama kulihat wajahnya. Sungguh ingin memeluknya kala itu. Tapi pertemuan kita terasa kaku. Aku hanya berani menyentuh tangannya sedikit mencium kepalanya. Buatku itu sudah menenangkanku. Dan itu hanya beberapa hari melihatnya..!!”
                “terus kalian bagaimana..!!” tanyaku seru
                “hubungan terus berlanjut meski aku harus balik kekotaku. Sampai tahun ke 4. Aku memintanya menemuiku tapi kenapa begitu banyak alasan darinya sampai buatku harus mengambil keputusan sendiri..!!”
                Mata Biyan mulai sedikit berkaca dan terus melanjutkan cerita tentangku. Tentang bintang kecil yang punya peran penting dalam kisahnya. Aku tak tahu harus berbuat apa siang itu. Menatap penuh wajahnya masih buatku gelisah. Kata demi kata aku menyimaknya. Semua yang dikatannya benar adanya. Tak satupun yang tersembunyikan. Sejam dua jam bahkan sampai tiga jam Biyan terus dan terus mebahasnya. Sungguh hatiku lirih mendengarnya
                “bila aku mengerti bahwa rasa sakit itu memang harus ada, maka dia tidak akan benar-benar terasa sakit. Karena aku tahu tujuannya adalah pendewasaan. Aku sadar rasa kecewa pada diri sendiri tidak pernah datang secara tiba-tiba, tapi merupakan hasil dari proses. Dan seperti itulah proses tentang aku dengannya..!!”
                Kupandangi wajah Biyan tanpa jeda
                “take me to the star..!!” sebutnya lembut
                Keningku mengerut. Tak mengerti ucapannya. Biyan menatapku sedikit senyum
                “dia ingin hidup di tempat yang asing. Ditempat yang tak seorangpun mengenalnya begitupu sebaliknya. Ia ingin hidup tanpa dihakimi siappun dan apapun. Bersamaku hatinya merasanya nyaman begitupun dengan tempat asing yang dia inginkan..!!”
                Tenggorokan Biyan menjadi kering karena berbagi kisah denganku. Batuknya tak lagi tertahan.
                “bentar yach aku beli minuman dulu. Didepan ada warung..!!” ucapku menarik dompet yang ada di tas.
                Biyan tersenyum. Mungkin menjadi waktu buatnya tuk menyeka air matanya begitupun denganku. Ponselku bordering. Karena cukup lama Biyan menjawab tanpa sepengetahuanku.
                “hai treezna, gimana, dah ngomong ke Biyan..!?” Tanya Rendy
                Biyan terkejut lalu menutup telponnya.
                “sorry lama, tadi penjualnya nyari uang kembalian..!!”
                Kusodorkan botol kecil serta snack buatnya. Biyan meraihnya tanpa senyum. Seperti sesuatu telah terjadi dengannya.
                “kenapa Biy, lanjutin ceritanya aku masih mau dengar..!!”
                “engga pa-pa, kapan-kapan aja dilanjutin..!!”
                “koq gitu, padahal kan belum kelar..?!” pintaku menarik tangannya
                Biyan memandangiku. Seakan dia tahu sesuatu. Tapi tidak mungkin. Memang karakternya seperti itu.
                “kita pulang..!!” ajaknya tiba-tiba beranjak dari duduknya
                “tapi Biy ceritanya..!?” teriakku padanya
                Biyan terus berjalan tak peduli seperti apa aku dibelakangnya. Seakan ada yang disembunyikannya. Aku masih ragu soal itu. Tak ada orang lain selain kami. Entah kenapa wajahnya terlihat bungkam berlalu dan terus berlalu meninggalkanku.
                Sesampainya dirumah kusampaikan hal itu ke Rendy. Semua berawal ketika Rendy menghubungiku. Dan Biyanlah yang menjawab telponnya. Sontak aku kaget begitupun dengan Rendy. Aku meminta Rendy untuk diam. Untuk tak masuk dalam masalah ini. Kuyakinkan Rendy dan memastikan semua pasti terjadi dan akan baik-baik saja.
                Aku pikir setelah kejadian itu Biyan tak ingin lagi mengenalku. Sama sekali aku tak menyalahkannya. Bukan berarti aku tak lagi mengunjungi danau kecil itu. Hanya tak ingin terlihat olehnya datang malam hari bukan hal buruk buatku. Kali ini aku datang ke danau kecil itu bukan untuk Biyan tapi untuk kisahku sendiri. Mungkin bintang kecil bisa jadi menenangkanku.
                Suatu malam menjadi awal atau mungkin akhir buatku. Suatu pengharapan tetap menjadi kerinduan. Bahagia, jelas aku bahagia meski beberapa hal yang sangat kuharapkan untuk terjadi tapi belum terjadi. Aku merasa tak terganggu hanya karena sebuah pertanyaan “mengapa harus terjadi..??” itu karena aku ikhlas.
                Dalam duduk kupandangi bintang. Kubercakap sendiri seperti apa kebahagian yang mengalahkan sedihku.
                “andai bintang kecilnya masih buat aku, pasti semua engga bakal gini dech..!!” ecapku terdengar ketus
                Masih terus aku bercakap tanpa sepengatahuan Biyan berdiri di belakangku.
                “dari mana kamu tahu tentang bintang kecil itu..!?”
                Aku tak lagi kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Sekarang dia harus tahu maksud kedatanganku.
                “Letiyza, singkatan nama yang cukup mewakili perasaanku padamu..!!” jelasku pada Biyan
                “kamu..??” keningnya mengerut penuh Tanya
                “iyya, aku suka bintang kecil yang setiap malam tersampaikan buatku sebelum tidur, aku takut pantai, laut atau sejenisnya. Aku takut ketinggian, pencita fireworks dan penikmat bintang dan penggalau malam. Namaku treezna..!!”
                Kujelaskan semua padanya tentangku serta tentangnya. Wajahnya terlihat shock. Tak ingin percaya namun semua kataku begitu meyakinkannya. Marah, kecewa, benci bahkan rindu berbaur menjadi satu. Semua Nampak jelas. matanya memandangiku tajam. Bola matanya tak bergerak sedikitpun. Sungguh aku siap dengan sikapnya setelahnya.
                Biyan mengambil ponsel di sakunya. Menekan atau mencari apa, aku tak tahu. Tiba-tiba ponselku bordering. Kuambilnya dari dalam tas. Air mataku tak bisa lagi menahannya untuk menetes. Namanya muncul di layar ponselku. Kupandangi lagi wajahnya yang mencoba mereject lalu menghubungiku ulang. Tak ada suara dari mulutnya. Beranjak lalu meninggalkanku.
                Kali ini tak kubiarkan pergi tanpa penjelasan. Mencoba memaksanya karena tak ada pilihan lain.
                “kenapa baru sekarang..!?” tanyanya terus berjalan
                “aku baru dapet ijin..!!” jawabku berjalan mengikutinya
                Wajahnya terlihat memerah. Jelas begitu marah terhadapku
                “kanapa selalu menolak menemuiku..??”
                Baru kali ini suaranya terdengar keras seakan membentakku dengan memegang erat pundakku lalu menatap mataku tanpa kedipan. Aku terdiam sejenak dan dia memandangiku dengan berair mata.
                “aku ingin melihat sesetia apa dirimu..!?”
                Biyan melepaskan tangannya lalu mendorongku. Aku terjatuh dengan ke dua tangan menyentuh tanah. Aku sungguh tak menyalahkannya.
                “harus seperti itu caramu, apa engga ada cara yang lebih lagi..??” 
                Aku tak kuasa berdiri. Kucoba jelaskan satu persatu seperti apa yang sebenarnya. Menunduk dan membiarkan air mataku jatuh ke tanah.
                “aku ingin hidup dengan hati. Sebab fisik mutlak berubah. Dan aku ingin kau menyayangi hatiku tanpa melihat fisikku. Dan aku telah melakukan itu padamu. Biy, aku bahagia dan sanggup bahagia pada kondisi apapun bahkan pada kondisi terburuk sekalipun..!!”
                Kujelaskan semua seperti apa aku menjalani hari-haariku dengan atau tanpanya. Tak satu katapun yang tertinggal. Biyan terdiam terlihat menelaah setiap kataku dan memahami semua maksud penjelasankuku. Aku mencoba berdiri. Kulihat matanya lembab memerah. Kupandangi dan terus kupandangi.
                “bisakah aku memelukmu, lima detik saja..??” pintaku lembut
                Biyan terdiam. Mengingat pintaku dulu. Air matanyapun menetes. Tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Kupeluk tubuhnya. Kuseka air matanya. Batinku terasa nyaman.
                “Biy, take me to the star..!!” bisikku pelan
                Biyan mengatur nafasnya yang jelas kudengar tanpa nada. Memegang kepalaku lalu membisikkan sesuatu dengan suara yang pelan nan jelas.
                “pasti, kulakukan, apa saja buatmu..!!”
                Hatiku sungguh tenang saat itu juga. Tak pernah aku meraskan semacam itu sebelumnya.
               
Lonely room | november,192012 | 2.52pm |


Sabtu, 24 November 2012

_oh dude_

“hey apa kabar..??” ku ulur tanganku dengan senyum bahagia
“baik..!!” balasnya singkat dengan meraih tanganku
“ engga nyangka bisa ketemu di sini..!?” tanyaku lembut
“iyya..!!” senyumnya memandang penuh wajahku
Kubalas pandangan wajahnya masih sehangat dan setenang yang dulu. Tatapannya yang memesona banyak orang, senyumnya yang indah begitu ikhlas terlihat. Dia masih sosok yang terindah yang pernah aku temui sebelumnya. Tak ku pungkiri kalau jantungku masih berdegup kencang jika melihatnya. Dia begitu indah, bak limited edition buatku.
Hari itu sontak menjadikan wajahku penuh senyum yang tak jarang tersipu malu jika dia menatapku. Kenapa aku masih belum bisa terlupa soal itu, kenapa aku masih begitu mendambanya, seakan aku ingin kembali ke masa itu masa yang lebih dari sepuluh musim berlalu. Kala itu senyumnya yang begitu akrab yang setiap saat terlihat. Wajahnya yang tak begitu asing yang hampir setiap hari menghampiriku dan menjadikan suasana selalu nampak sempurna bila bersamanya. Benar dia pernah dekat denganku, kedekatannya menjadikan pertemanan yang tanpa sungkan, seakan kita begitu sudah mengenal lebih dalam.
              “sorry, aku duluan, ada perlu soalnya..!!” pamitnya yang seketika menghamburkan ingatanku tentangnya
“oh iyya..!!” jawabku senyum tapi hatiku tak menginginkan itu
Pandanganku tak pernah lepas darinya ketika dia membalikkan badannya dariku
“Dant,, tunggu..!!”
“kenapa..!?” tanyanya
Entah kenapa bibirku tiba-tiba bergerak semaunya. Wajahku terlihat tak jelas, tapi tak mungkin kubiarkan dia pergi begitu saja
              “mmmm,, by the way, minta nomor ponselmu..!?” pertanyaan itu yang harus kumulai biar aku masih bisa tahu sedikit tentangnya
“nomormu berapa biar aku yang miscall..!?” Tanya balik
“makasih yach Dant..”
“ok, ya udah aku duluan” jawabnya sedikit senyum lalu berlalu
Pertemuan sore itu begitu singkat yang sungguh sukar buat terlupa Wajahku tersipu yang tak jelas seperti langkah kakiku tanpa tujuan. Kupandangi layar ponselku seperti menerima pesan yang tanpa henti.
                Dengan sadar aku  bergegas meninggalkan gedung itu. Gedung yang dulu selalu menjadi tempat ke 2 kami menghabiskan waktu selain kampus tempat awal aku bertatap muka dengannya. Diperjalan kunikmati pikiranku yang membuatku sejenak tersenyum dan sedih tentangnya, tentang mereka yang pernah menjadi bagian hari-hariku.
                5 hari setelah pertemuan itu. Mataku masih belum bisa teralihkan akan nomornya di kontak ponselku.
                “aakkkhhhh, aku paling benci hal ini”
                Kupandangi ponselku berulang-ulang seakan ingin meremukkannya. Sesekali juga aku melemparnya di atas kasur agar terhindar tapi tetap saja sama. Kuraih lagi lalu memandanginya. Kuawali dengan pesan singkat, berkali-kali kuulang menulisnya tapi akhirnya kudelete juga.
                “sms atau telpon engga ya..??”
                Wajahku terlihat bingung, jelas bertanya tanpa jawaban yang terdengar. Kuhirup panjang nafasku padahal aku tak lagi meditasi malam itu. Kucari lagi namanya di kontak ponselku. Finally.
                “assalamualaikum” suaranya singkat
                Kujawab salamnya pelan. telingaku terasa tertiup oleh suaranya melalui lempengan-lempengan besi yang bernama ponsel.
                “Dant, ganggu engga..?!”
                “engga, kenapa treez..!?”
                Kuawali semua dengan pembahasan yang ringan. Awalnya cukup kaku tapi kucoba imbangi dengan sikapku yang dulu yang ia kenal. Seperti sebuah perjanjian yang kubuat dengannya. Buat sikapku menjadi tak tentu. Entah tersenyum atau nampak resah yang terlihat. Akkkhh peduli amat ini hanya rencana. Tapi tak bisa kutampik sesekali aku terganggu akan hal itu.
                “apa kabar aku besok yach..??” tanyaku senyum simpul sekilas
                Minggu pagi ini seperti berpihak padaku. Semua yang terlihat seperti objek kebahagiaan. Sesekali aku bernyanyi hanya untuk mewakili perasaanku. Semua rutinitas hari itu seperti hadiah buatku.
                Ponsel mengagetkanku dengan nada serta getarannya yang cukup jelas terdengar. Wajahku semakin sumringah. Pagi menjelang siang menjadi hari baru buatku.
                Pesan singkat darinya sangat persis dengan karakternya
                “ nanti jam 2 jadi ketemuannya..?!”
                Kubaca perlahan setiap baris katanya. Senyumku hari itu serasa membuncah tanpa henti sambil membalas tanyanya.
                Beberapa jam kemudian aku sibuk dengan diriku sendiri. Kucoba berdandan tanpa henti. Semua baju-bajuku yang menurutku bagus telah kucoba. Tak biasanya aku seperti ini. Yang dulunya hanya tampil casual saat dengannya. Sungguh kali ini berbeda. Kuingin terlihat anggun didepannya. Dengan gaun serta high heel yang tak pernah kuperlihatkan padanya sebelumnya. Wangi, begitu wangi aku siang itu.
                Tiba ditempat yang kujanjikan. Dari kejauhan kulihat dia sibuk dengan ponselnya. Perlahan aku menghampirinya. Dikepalaku teringat jelas beberapa musim yang lalu. Tempat itu telah menjadi sejarah buatku tentangnya, tentang mereka. belum sempat aku keluar dari ingatanku. Wajahnya mengagetkanku, sedikit senyum ia lemparkan padaku, pertanda dia sudah menunggu.
                “sorry, telat”
                “engga apa-apa”
                Menit pertama seperti rencana dan berjalan sempurna. Iapun cukup memuji penampilanku. Kucoba buatnya tersenyum dengan cerita ringan dan lucu seperti bertukar kisah yang menurutku layak diperdengarkan. Menit berlalu sesekali aku mencicipi makanan dan minuman yang dia pesan buatku. Cerita yang mengingatkan tentang kisah lalu yang cukup menarik masih terus kusenandungkan. Jelas terlihat di wajahnya betapa seriusnya dia menanggapi semua itu. Gelak tawa mulai terdengar meski kadang mengganggu orang sebelah yang lagi duduk. Bukan masalah buatku setidaknya aku menikmati hari itu.
                Suasana cukup berubah ketika ia menayakan sesuatu tentangku. Sontak aku kaget tapi tak ingin terlihat olehnya. Di sodorkan ponsel miliknya. Ia ingin aku membaca sesuatu.
                “benar itu darimu..??” tanyanya tanpa senyum
                “maksudnya” tanyaku balik seakan menyangkalnya
                “kamu pasti sudah tahu maksudku..!!”
                “darimana kamu tahu kalau itu aku..!?”
                “setelah pesan itu aku ketemu Alif, kami bicara banyak, soal anak-anak, kuliah , karena aku kangen kalian semua aku coba minta nomor baru kamu ke Alif, aku belum sadar soal itu. Setiba di rumah aku coba menghubungimu. Aku kaget nomor itu ternyata nomor kamu. Sungguh aku tak percaya. Beberapa minggu kemudian aku coba menghubungimu lagi tapi nomor itu sudah engga aktif lagi” jelasnya panjang lebar
                Ditatapnya wajahku. Matanya tak pernah setajam itu. Sungguh tak bisa aku lari dari pandangannya. Tak ada kata yang terucap selain kata maaf dariku.
                “aku ingin dengar alasan kenapa kamu berikan itu padaku..??”
                Detik itupun wajahku berubah, perona merah dipipiku serasa memerah keseluruh wajahku dan pandangannya masih terarah buatku yang menjadikan aku sedikit bodoh dihadapannya. 2 menit aku terdiam, wajahnya masih sama seakan menunggu penjelasan dan pernyataan dariku.
                Aku masih dengan diamku, keningku mengerut. perlahan ia mencoba tersenyum dengan maksud tertentu. Senyumnya buatku luluh dan mengawali semuanya. Berawal dari aku mengenalnya sampai berpisah darinya.
                “kenapa kau lakukan itu padaku..!?”
                Banyak pertanyaan darinya yang membuatku tersudut. Tak banyak yang bisa kulakukan tapi mungkin ini waktu yang tepat.
              “jujur, aku sedikit besar kepala saat membaca pesan pertama darimu. Tak pernah aku menanggapi pesan yang sifatnya memuja tentang fisikku. Tapi kurasa kali ini berbeda. Aku menghubungi nomor pengirim itu tapi tak dapat jawaban juga. Itu kulakukan berkali-kali..!?”
            “aku tak mau menjawabnya karena aku yakin kau begitu mengenali suaraku..!!” jawabku
             “tapi bisakan kau merubah suaramu atau apalah”
Pertanyaannya semakin bertambah dan terus bertambah. Kali ini ia betul-betul ingin tahu semuanya. Tak ingin satupun tersembunyikan.
“aku engga bisa..!!”
“kenapa engga bisa..??”
“pokoknya engga bisa..!!”
Kusentakkan kedua tanganku diatas meja. Spontan wajahnya sedikit berubah. Tapi pertannyaannya terus terdengar
“coba kau bacakan pesan ini, aku ingin mendengar langsung dari mulutmu..!!”
Disodorkannya lagi ponselnya ketanganku. Tanpa bisa berbuat apa-apa perlahan kubaca pesan ku sendiri dengan pikiran yang penuh dikepala.
              “kulihat sosok jangkung dengan rambut lurus berwarna hitam, penampilannya sangat sederhana. Tubuhnya dibaluti kaos begitupun dengan jaket yang selalu menggantung ditubuhnya yang sedang berdiri tepat dihadapanku. Saat menatap wajahnya seperti aku melihat seorang idola yang begitu tenang penuh kharisma. Matanya sejuk dan berbinar. Suaranya merdu bahkan lebih merdu dari lagu kesayanganku. Entah kenapa jantungku berdetak lebih kencang tanpa irama. Tapi aku tak ingin terlihat akan hal itu. Saat melihatnya seperti aku melihat tokoh-tokoh dalam komik jepang. Matanya indah. Bibirnya lucu. Serta hidungnya mancung. Sangat perfect buatku. Nilai yang sangat maximum dengan skala istimewa. Indah.  Dia mahluk yang indah yang pernah aku temui”
“sejak kapan kau merangkai kata itu..??”
“sejak hari itu, awal kita bertemu..!!”
“kenapa setelahnya kamu baru mengirimnya padaku”
“karena aku pikir kita mungkin tak bertemu lagi..!!”
Disandarkannya punggungnya dikursi, sesekali ia menatapku lalu menunduk. Sungguh aku tak tahu apa yang ada diotaknya. Mungkinkah ia marah, kecewa atau bahkan benci terhadapku. Semua pikiran negative yang ada dibenakku mulai bermunculan tentangnya. Sungguh aku merasa kalah dengan kata-kataku sendiri.
                “Dant, aku minta maaf, karena sikapku. Aku tak mau jikalau kamu tahu semua pasti berubah. Tak ada lagi persahabatan, tak ada lagi kebersamaan, tak ada lagi canda tawa”
“siapa yang tahu soal ini, Kenan atau Alif..!?”
               “Yeza, yang tahu cuma Yeza, tapi Yeza tahu saat kita masih bersama. Setelah kita terpisah Yeza  tak tahu lagi begitupun dengan Kenan dan Alif..!!” jawabku tegas
engga nyangka aku treez”
Dibasuhnya wajahnya seperti terlihat lelah. Sesekali memalingkan wajah kearah yang tak jelas. Kadang ia terdiam sejenak. Seperti yang pasti wajah tenangnya masih bisa menahan perasaannya yang entah seperti apa. Tapi ia masih menghargai keberadaanku.
“kata Alif, kamu yang selalu ngajak dia buat ketempatku sama Yeza. Kenapa..??” tanyaku pelan
“yeach cuma pengen ngumpul aja”
“tapi kan bisa di kampus..?!”
Posisiku seperti membalikkan semua pertanyaan kepadanya. Mungkin baik buatku jika aku tahu juga seperti apa rasanya kala itu. Kulontarkan banyak pertanyaan meski sesekali dia menjawab dengan senyum manis.
“kenapa Dant, waktu kita marahan sikap kamu seperti itu waktu di tempatnya Alif..??”
“nunggu kamu negur..!!” jawabnya terengar cuek
“masa harus aku yang mulai, kamu kan..??”
“yeeaachhh engga enaklah entar aku dicuekin”
“tapi aku kan jadi malu sama Alif”
“Alif tahu koq alasannya”
“tapi aku engga” ucapku tegas
Kupandangi wajahnya, yang pasti caraku tak seperti dulu. Senyumnya segar. Begitu mengingatkan aku akan kisah lalu. Ingin sekali kuulang semua. Karena aku merasa ada sesuatu yang aneh darinya.
“tapi bener yang dikatakan Alif kejadian sore itu..?!” tanyaku terdengar manja
“menurutmu..??”
“koq nanya balik”
Dante tersenyum, sepertinya ia membenarkan semua perkataan Alif. Terang aku begitu bahagia tapi berusaha menutupinya.
“Dant, kamu ingat engga sore itu, di tempat Alif bareng teman-teman yang lain..??”
“yang mana, kan sering kita kumpul di tempat Alif..!?”
“tapi kan sama Kenan dan Yeza. Yang ini waktu pada rame-ramenya”
“oowhhh, ingat. Kenapa..!?”
                “kenapa kamu lebih milih mereka, aku merasa mereka telah menjauhkanmu dariku, dengan menawarkan senyum-senyum yang indah darinya”
“kamu jealous..??”
“engga, cuma sedih aja”
Dante tertawa kecil mendengar pertanyaanku. Entah aku polos dengan pertanyaanku sendiri atau bego dengan sikapku.
Sedikit demi sedikit  Dante bercerita tentang aku, Yeza, Alif dan Kenan. Tak semua yang kupikir tentangnya adalah benar. Setidaknya aku sedikit bahagia dan bangga karena tak jarang dia memuji dan merindukanku meski terkadang aku selalu dijahili olehnya. Mungkin cara itu bisa buatnya lebih dekat denganku.
Aku nampak lega. Semua yang yang lalu telah tersampaikan. Sekarang terserah ia kedepannya. Aku tak kecewa setidaknya dia sudah tahu tentangku. Tentang kebersamaan kami. Tentang mereka yang selalu menghabiskan waktu bersama.
Tak bisa kujelaskan lagi seperti apa wajah dan senyumnya siang itu. Yang aku ingat darinya, ia membuatku lebih nyaman dibanding sebelumnya. Hatiku berdegup lebih kencang dari sirine.
“oh ya treez, sepertinya aku harus balik, ada pesan dari temen”
“ya udah, obrolan kita juga sudah selesai, semuanya sudah terjawab” jawabku
Kutarik tasku lalu berdiri, berniat meninggalkannya.
“dant, ini buat kamu”
“ini apa an..??”
“baca aja, maaf harusnya ini kuberikan dari dulu.., ya udah aku duluan”
Dipegangnya beberapa lembaran kertas yang aku berikan padanya kemudian tersenyum. Dilangkahku aku merasa bingung sekaligus bahagia. Berharap pemberianku bisa menjadi hikmah.
                Dear dude | betapa setianya aku menikmati setiap garis wajahmu | ingin sekali kumiliki | sebab kau layak mendapatkan yang lebih |  jika esok pertemukan kita lagi | aku ingin menjadi saksi tunggal | perubahan setiap garis wajahmu yang akan menua |
                Sore itu aku pulang meski dengan tangan hampa tapi pikiranku telah lega. Kenapa baru sekarang kita bertemu. Tapi sudahlah aku bersyukur meski lama menunggumu. Kali ini tak ada harapan indah dibenakku. Aku berjalan seiring kaki membawaku. Aku tersenyum, tak peduli keadaan sekitar menertawakanku. Tempat ini selalu menjadi saksi. Meski tanpa Yeza, Alif dan Kenan yang selalu kurindukan.
                Seminggu setelahnya. Kupandangi ponselku. Sore itu seperti mengharuskan aku menghapus semua pesan darinya. Aku tersenyum mengingat kejadian tentangnya. Tentang dia yang begitu indah. Belum sempat aku meletakkan ponselku. Nada pesannya mengagetkanku.
                “hey, manja,,, besok malam ketemuan yach, aku ingin kamu menjadi saksi tunggal saat aku menua”
                tak bisa kututupi seperti apa senyumku sore itu. Nafasku serasa bebas, sebebas gayaku yang lepas setelah membaca pesan darinya. Sungguh tak pernah kubayangkan kalau ia membalas inginku.
                Its unbelievable, setelah bertemu dengannya malam itu. Wajahku memerah seperti tomat. Tak hanya pujian yang ia berikan tentang fisikku tapi juga perasaan yang ia tawarkan yang harusnya ia tawarkan saat masih bersama.
                Dante ohh Dante i do like you do….

Lonely room | agustus | 2012 |