Sabtu, 24 November 2012

_oh dude_

“hey apa kabar..??” ku ulur tanganku dengan senyum bahagia
“baik..!!” balasnya singkat dengan meraih tanganku
“ engga nyangka bisa ketemu di sini..!?” tanyaku lembut
“iyya..!!” senyumnya memandang penuh wajahku
Kubalas pandangan wajahnya masih sehangat dan setenang yang dulu. Tatapannya yang memesona banyak orang, senyumnya yang indah begitu ikhlas terlihat. Dia masih sosok yang terindah yang pernah aku temui sebelumnya. Tak ku pungkiri kalau jantungku masih berdegup kencang jika melihatnya. Dia begitu indah, bak limited edition buatku.
Hari itu sontak menjadikan wajahku penuh senyum yang tak jarang tersipu malu jika dia menatapku. Kenapa aku masih belum bisa terlupa soal itu, kenapa aku masih begitu mendambanya, seakan aku ingin kembali ke masa itu masa yang lebih dari sepuluh musim berlalu. Kala itu senyumnya yang begitu akrab yang setiap saat terlihat. Wajahnya yang tak begitu asing yang hampir setiap hari menghampiriku dan menjadikan suasana selalu nampak sempurna bila bersamanya. Benar dia pernah dekat denganku, kedekatannya menjadikan pertemanan yang tanpa sungkan, seakan kita begitu sudah mengenal lebih dalam.
              “sorry, aku duluan, ada perlu soalnya..!!” pamitnya yang seketika menghamburkan ingatanku tentangnya
“oh iyya..!!” jawabku senyum tapi hatiku tak menginginkan itu
Pandanganku tak pernah lepas darinya ketika dia membalikkan badannya dariku
“Dant,, tunggu..!!”
“kenapa..!?” tanyanya
Entah kenapa bibirku tiba-tiba bergerak semaunya. Wajahku terlihat tak jelas, tapi tak mungkin kubiarkan dia pergi begitu saja
              “mmmm,, by the way, minta nomor ponselmu..!?” pertanyaan itu yang harus kumulai biar aku masih bisa tahu sedikit tentangnya
“nomormu berapa biar aku yang miscall..!?” Tanya balik
“makasih yach Dant..”
“ok, ya udah aku duluan” jawabnya sedikit senyum lalu berlalu
Pertemuan sore itu begitu singkat yang sungguh sukar buat terlupa Wajahku tersipu yang tak jelas seperti langkah kakiku tanpa tujuan. Kupandangi layar ponselku seperti menerima pesan yang tanpa henti.
                Dengan sadar aku  bergegas meninggalkan gedung itu. Gedung yang dulu selalu menjadi tempat ke 2 kami menghabiskan waktu selain kampus tempat awal aku bertatap muka dengannya. Diperjalan kunikmati pikiranku yang membuatku sejenak tersenyum dan sedih tentangnya, tentang mereka yang pernah menjadi bagian hari-hariku.
                5 hari setelah pertemuan itu. Mataku masih belum bisa teralihkan akan nomornya di kontak ponselku.
                “aakkkhhhh, aku paling benci hal ini”
                Kupandangi ponselku berulang-ulang seakan ingin meremukkannya. Sesekali juga aku melemparnya di atas kasur agar terhindar tapi tetap saja sama. Kuraih lagi lalu memandanginya. Kuawali dengan pesan singkat, berkali-kali kuulang menulisnya tapi akhirnya kudelete juga.
                “sms atau telpon engga ya..??”
                Wajahku terlihat bingung, jelas bertanya tanpa jawaban yang terdengar. Kuhirup panjang nafasku padahal aku tak lagi meditasi malam itu. Kucari lagi namanya di kontak ponselku. Finally.
                “assalamualaikum” suaranya singkat
                Kujawab salamnya pelan. telingaku terasa tertiup oleh suaranya melalui lempengan-lempengan besi yang bernama ponsel.
                “Dant, ganggu engga..?!”
                “engga, kenapa treez..!?”
                Kuawali semua dengan pembahasan yang ringan. Awalnya cukup kaku tapi kucoba imbangi dengan sikapku yang dulu yang ia kenal. Seperti sebuah perjanjian yang kubuat dengannya. Buat sikapku menjadi tak tentu. Entah tersenyum atau nampak resah yang terlihat. Akkkhh peduli amat ini hanya rencana. Tapi tak bisa kutampik sesekali aku terganggu akan hal itu.
                “apa kabar aku besok yach..??” tanyaku senyum simpul sekilas
                Minggu pagi ini seperti berpihak padaku. Semua yang terlihat seperti objek kebahagiaan. Sesekali aku bernyanyi hanya untuk mewakili perasaanku. Semua rutinitas hari itu seperti hadiah buatku.
                Ponsel mengagetkanku dengan nada serta getarannya yang cukup jelas terdengar. Wajahku semakin sumringah. Pagi menjelang siang menjadi hari baru buatku.
                Pesan singkat darinya sangat persis dengan karakternya
                “ nanti jam 2 jadi ketemuannya..?!”
                Kubaca perlahan setiap baris katanya. Senyumku hari itu serasa membuncah tanpa henti sambil membalas tanyanya.
                Beberapa jam kemudian aku sibuk dengan diriku sendiri. Kucoba berdandan tanpa henti. Semua baju-bajuku yang menurutku bagus telah kucoba. Tak biasanya aku seperti ini. Yang dulunya hanya tampil casual saat dengannya. Sungguh kali ini berbeda. Kuingin terlihat anggun didepannya. Dengan gaun serta high heel yang tak pernah kuperlihatkan padanya sebelumnya. Wangi, begitu wangi aku siang itu.
                Tiba ditempat yang kujanjikan. Dari kejauhan kulihat dia sibuk dengan ponselnya. Perlahan aku menghampirinya. Dikepalaku teringat jelas beberapa musim yang lalu. Tempat itu telah menjadi sejarah buatku tentangnya, tentang mereka. belum sempat aku keluar dari ingatanku. Wajahnya mengagetkanku, sedikit senyum ia lemparkan padaku, pertanda dia sudah menunggu.
                “sorry, telat”
                “engga apa-apa”
                Menit pertama seperti rencana dan berjalan sempurna. Iapun cukup memuji penampilanku. Kucoba buatnya tersenyum dengan cerita ringan dan lucu seperti bertukar kisah yang menurutku layak diperdengarkan. Menit berlalu sesekali aku mencicipi makanan dan minuman yang dia pesan buatku. Cerita yang mengingatkan tentang kisah lalu yang cukup menarik masih terus kusenandungkan. Jelas terlihat di wajahnya betapa seriusnya dia menanggapi semua itu. Gelak tawa mulai terdengar meski kadang mengganggu orang sebelah yang lagi duduk. Bukan masalah buatku setidaknya aku menikmati hari itu.
                Suasana cukup berubah ketika ia menayakan sesuatu tentangku. Sontak aku kaget tapi tak ingin terlihat olehnya. Di sodorkan ponsel miliknya. Ia ingin aku membaca sesuatu.
                “benar itu darimu..??” tanyanya tanpa senyum
                “maksudnya” tanyaku balik seakan menyangkalnya
                “kamu pasti sudah tahu maksudku..!!”
                “darimana kamu tahu kalau itu aku..!?”
                “setelah pesan itu aku ketemu Alif, kami bicara banyak, soal anak-anak, kuliah , karena aku kangen kalian semua aku coba minta nomor baru kamu ke Alif, aku belum sadar soal itu. Setiba di rumah aku coba menghubungimu. Aku kaget nomor itu ternyata nomor kamu. Sungguh aku tak percaya. Beberapa minggu kemudian aku coba menghubungimu lagi tapi nomor itu sudah engga aktif lagi” jelasnya panjang lebar
                Ditatapnya wajahku. Matanya tak pernah setajam itu. Sungguh tak bisa aku lari dari pandangannya. Tak ada kata yang terucap selain kata maaf dariku.
                “aku ingin dengar alasan kenapa kamu berikan itu padaku..??”
                Detik itupun wajahku berubah, perona merah dipipiku serasa memerah keseluruh wajahku dan pandangannya masih terarah buatku yang menjadikan aku sedikit bodoh dihadapannya. 2 menit aku terdiam, wajahnya masih sama seakan menunggu penjelasan dan pernyataan dariku.
                Aku masih dengan diamku, keningku mengerut. perlahan ia mencoba tersenyum dengan maksud tertentu. Senyumnya buatku luluh dan mengawali semuanya. Berawal dari aku mengenalnya sampai berpisah darinya.
                “kenapa kau lakukan itu padaku..!?”
                Banyak pertanyaan darinya yang membuatku tersudut. Tak banyak yang bisa kulakukan tapi mungkin ini waktu yang tepat.
              “jujur, aku sedikit besar kepala saat membaca pesan pertama darimu. Tak pernah aku menanggapi pesan yang sifatnya memuja tentang fisikku. Tapi kurasa kali ini berbeda. Aku menghubungi nomor pengirim itu tapi tak dapat jawaban juga. Itu kulakukan berkali-kali..!?”
            “aku tak mau menjawabnya karena aku yakin kau begitu mengenali suaraku..!!” jawabku
             “tapi bisakan kau merubah suaramu atau apalah”
Pertanyaannya semakin bertambah dan terus bertambah. Kali ini ia betul-betul ingin tahu semuanya. Tak ingin satupun tersembunyikan.
“aku engga bisa..!!”
“kenapa engga bisa..??”
“pokoknya engga bisa..!!”
Kusentakkan kedua tanganku diatas meja. Spontan wajahnya sedikit berubah. Tapi pertannyaannya terus terdengar
“coba kau bacakan pesan ini, aku ingin mendengar langsung dari mulutmu..!!”
Disodorkannya lagi ponselnya ketanganku. Tanpa bisa berbuat apa-apa perlahan kubaca pesan ku sendiri dengan pikiran yang penuh dikepala.
              “kulihat sosok jangkung dengan rambut lurus berwarna hitam, penampilannya sangat sederhana. Tubuhnya dibaluti kaos begitupun dengan jaket yang selalu menggantung ditubuhnya yang sedang berdiri tepat dihadapanku. Saat menatap wajahnya seperti aku melihat seorang idola yang begitu tenang penuh kharisma. Matanya sejuk dan berbinar. Suaranya merdu bahkan lebih merdu dari lagu kesayanganku. Entah kenapa jantungku berdetak lebih kencang tanpa irama. Tapi aku tak ingin terlihat akan hal itu. Saat melihatnya seperti aku melihat tokoh-tokoh dalam komik jepang. Matanya indah. Bibirnya lucu. Serta hidungnya mancung. Sangat perfect buatku. Nilai yang sangat maximum dengan skala istimewa. Indah.  Dia mahluk yang indah yang pernah aku temui”
“sejak kapan kau merangkai kata itu..??”
“sejak hari itu, awal kita bertemu..!!”
“kenapa setelahnya kamu baru mengirimnya padaku”
“karena aku pikir kita mungkin tak bertemu lagi..!!”
Disandarkannya punggungnya dikursi, sesekali ia menatapku lalu menunduk. Sungguh aku tak tahu apa yang ada diotaknya. Mungkinkah ia marah, kecewa atau bahkan benci terhadapku. Semua pikiran negative yang ada dibenakku mulai bermunculan tentangnya. Sungguh aku merasa kalah dengan kata-kataku sendiri.
                “Dant, aku minta maaf, karena sikapku. Aku tak mau jikalau kamu tahu semua pasti berubah. Tak ada lagi persahabatan, tak ada lagi kebersamaan, tak ada lagi canda tawa”
“siapa yang tahu soal ini, Kenan atau Alif..!?”
               “Yeza, yang tahu cuma Yeza, tapi Yeza tahu saat kita masih bersama. Setelah kita terpisah Yeza  tak tahu lagi begitupun dengan Kenan dan Alif..!!” jawabku tegas
engga nyangka aku treez”
Dibasuhnya wajahnya seperti terlihat lelah. Sesekali memalingkan wajah kearah yang tak jelas. Kadang ia terdiam sejenak. Seperti yang pasti wajah tenangnya masih bisa menahan perasaannya yang entah seperti apa. Tapi ia masih menghargai keberadaanku.
“kata Alif, kamu yang selalu ngajak dia buat ketempatku sama Yeza. Kenapa..??” tanyaku pelan
“yeach cuma pengen ngumpul aja”
“tapi kan bisa di kampus..?!”
Posisiku seperti membalikkan semua pertanyaan kepadanya. Mungkin baik buatku jika aku tahu juga seperti apa rasanya kala itu. Kulontarkan banyak pertanyaan meski sesekali dia menjawab dengan senyum manis.
“kenapa Dant, waktu kita marahan sikap kamu seperti itu waktu di tempatnya Alif..??”
“nunggu kamu negur..!!” jawabnya terengar cuek
“masa harus aku yang mulai, kamu kan..??”
“yeeaachhh engga enaklah entar aku dicuekin”
“tapi aku kan jadi malu sama Alif”
“Alif tahu koq alasannya”
“tapi aku engga” ucapku tegas
Kupandangi wajahnya, yang pasti caraku tak seperti dulu. Senyumnya segar. Begitu mengingatkan aku akan kisah lalu. Ingin sekali kuulang semua. Karena aku merasa ada sesuatu yang aneh darinya.
“tapi bener yang dikatakan Alif kejadian sore itu..?!” tanyaku terdengar manja
“menurutmu..??”
“koq nanya balik”
Dante tersenyum, sepertinya ia membenarkan semua perkataan Alif. Terang aku begitu bahagia tapi berusaha menutupinya.
“Dant, kamu ingat engga sore itu, di tempat Alif bareng teman-teman yang lain..??”
“yang mana, kan sering kita kumpul di tempat Alif..!?”
“tapi kan sama Kenan dan Yeza. Yang ini waktu pada rame-ramenya”
“oowhhh, ingat. Kenapa..!?”
                “kenapa kamu lebih milih mereka, aku merasa mereka telah menjauhkanmu dariku, dengan menawarkan senyum-senyum yang indah darinya”
“kamu jealous..??”
“engga, cuma sedih aja”
Dante tertawa kecil mendengar pertanyaanku. Entah aku polos dengan pertanyaanku sendiri atau bego dengan sikapku.
Sedikit demi sedikit  Dante bercerita tentang aku, Yeza, Alif dan Kenan. Tak semua yang kupikir tentangnya adalah benar. Setidaknya aku sedikit bahagia dan bangga karena tak jarang dia memuji dan merindukanku meski terkadang aku selalu dijahili olehnya. Mungkin cara itu bisa buatnya lebih dekat denganku.
Aku nampak lega. Semua yang yang lalu telah tersampaikan. Sekarang terserah ia kedepannya. Aku tak kecewa setidaknya dia sudah tahu tentangku. Tentang kebersamaan kami. Tentang mereka yang selalu menghabiskan waktu bersama.
Tak bisa kujelaskan lagi seperti apa wajah dan senyumnya siang itu. Yang aku ingat darinya, ia membuatku lebih nyaman dibanding sebelumnya. Hatiku berdegup lebih kencang dari sirine.
“oh ya treez, sepertinya aku harus balik, ada pesan dari temen”
“ya udah, obrolan kita juga sudah selesai, semuanya sudah terjawab” jawabku
Kutarik tasku lalu berdiri, berniat meninggalkannya.
“dant, ini buat kamu”
“ini apa an..??”
“baca aja, maaf harusnya ini kuberikan dari dulu.., ya udah aku duluan”
Dipegangnya beberapa lembaran kertas yang aku berikan padanya kemudian tersenyum. Dilangkahku aku merasa bingung sekaligus bahagia. Berharap pemberianku bisa menjadi hikmah.
                Dear dude | betapa setianya aku menikmati setiap garis wajahmu | ingin sekali kumiliki | sebab kau layak mendapatkan yang lebih |  jika esok pertemukan kita lagi | aku ingin menjadi saksi tunggal | perubahan setiap garis wajahmu yang akan menua |
                Sore itu aku pulang meski dengan tangan hampa tapi pikiranku telah lega. Kenapa baru sekarang kita bertemu. Tapi sudahlah aku bersyukur meski lama menunggumu. Kali ini tak ada harapan indah dibenakku. Aku berjalan seiring kaki membawaku. Aku tersenyum, tak peduli keadaan sekitar menertawakanku. Tempat ini selalu menjadi saksi. Meski tanpa Yeza, Alif dan Kenan yang selalu kurindukan.
                Seminggu setelahnya. Kupandangi ponselku. Sore itu seperti mengharuskan aku menghapus semua pesan darinya. Aku tersenyum mengingat kejadian tentangnya. Tentang dia yang begitu indah. Belum sempat aku meletakkan ponselku. Nada pesannya mengagetkanku.
                “hey, manja,,, besok malam ketemuan yach, aku ingin kamu menjadi saksi tunggal saat aku menua”
                tak bisa kututupi seperti apa senyumku sore itu. Nafasku serasa bebas, sebebas gayaku yang lepas setelah membaca pesan darinya. Sungguh tak pernah kubayangkan kalau ia membalas inginku.
                Its unbelievable, setelah bertemu dengannya malam itu. Wajahku memerah seperti tomat. Tak hanya pujian yang ia berikan tentang fisikku tapi juga perasaan yang ia tawarkan yang harusnya ia tawarkan saat masih bersama.
                Dante ohh Dante i do like you do….

Lonely room | agustus | 2012 |

_sorry Laza_

Namanya Laza. Kali pertama aku melihatnya saat usiaku masih dengan seragam putih biru, dengan rok selutut serta kemeja yang pas ditubuhku. Siapa yang engga mengenalnya tampangnya begitu beredar disekolahan. Wajahnya yang putih dan halus menjadi enak dipandang, kulitnya putih bersih, postur tubuhnya ideal kala itu. Penampilannya begitu rapi  tertata dari ujung kepala sampai kaki. Setiap ia tersenyum membuat siapapun yang melihatnya begitu menikmatinya. Kata orang, dengan ia tersenyum membuat wajahnya mirip Justin Timberlake. Sungguh semanis itu yang kulihat. Dan nyatanya memang seperti itu. Wajahnya lucu membuat banyak wanita disekolahan mengaguminya bahkan mungkin banyak yang menginginkannya.
Aku belum tahu perasaanku saat itu. Yang aku tahu selain namanya, aku benar mengaguminya meski aku belum mengenalnya lebih apalagi ngobrol dengannya.
Kelasku kala itu tak pernah satu dengannya, karenanya aku sulit mengenal tentangnya. Mungkin karena itu pikiranku tentangnya sangatlah beda dengan sifatnya yang sebenarnya. Buatku jadi satu kesempatan ketika aku melihatnya tersenyum meski bukan untukku. Tak lama mengaguminya tahun itu harus memisahkan pandanganku darinya begitupun dengan teman-teman yang lainnya.
Setelahnya seragamku berganti menjadi Putih, abu-abu yang menjadikannya  terlihat sedikit menari. Masih dengan rok selutut dan kemeja yang pas ditubuhku. Semua terlihat berbeda tak seperti tahun sebelumnya. Tak pernah terlogiskan olehku kalau tahun itu mempertemukan kita lagi. Secara fisik tak ada yang berubah darinya selain warna seragam yang dikenakannya sama denganku. Wajahnya masih lucu bahkan lebih. Auranya seperti terlihat jelas. Seragam yang dikenakannya nyaris sempurna yang begitu tertata rapi. Bagaimana aku tak tahu soal itu. Setiap pagi yang hampir tujuh jam aku bertemu dengannya dan itu terjadi selama enam hari dalam seminggu.
“oh ALLAH he is back, this is real or am i dreamin’..?!” ucapku dalam hati saat dia duduk dibangku yang tak jauh dariku.
Aku masih menaruh kekaguman padanya meski dalam hati selalu memustahilkan semua tentang itu tapi tidak dengan hari-hari yang selalu menghamburkan senyumnya padaku. Kelaspun memperkenalkan kami. Sungguh masih diluar logikaku. Kali pertama aku mencoba mencuri wajahnya lewat pandanganku. Aku masih merasa tak yakin ketika ia tersenyum padaku. Sampai disuatu waktu diluar jam pelajaran
                “hey, boleh ikutan engga..??” tanyanya senyum berdiri disampingku
                Aku terdiam sesaat. Kupalingkan wajahku kearah Laraz yang kini jadi sahabatku bertanda isyarat buatnya, tapi sayang Laraz tak mengerti maksudku. Tanpa basa-basi Laza duduk disampingku yang membuatku tak bisa berbicara banyak.
                Dan semua berwal dari siang itu. Aku mulai saling mengenal. Kekagumanku padanya terus berlanjut. Laza seakan menyambut baik soal itu. Namun dipikiranku kalau sikapnya hanya untuk menghibur diri karena tak bersama sahabatnya. Ia mencoba membagi senyumnya setiap aku bertatap muka dengannya. Seperti tak ada rekayasa darinya. Semua berjalan senatural itu.
                Hari ke hari membuatku semakin akrab dengannya yang membuatku salalu tersenyum untuknya tapi membuatku juga sulit percaya.
                “engga mungkin Laza seperti itu..!?” bisikku dalam hati
                Ingin sekali aku berbagi soal ini ke Laraz. Tapi melihat wajah Laraz membuatku tak yakin karena semua pasti akan sampai ketelinga yang lain.
                “raz, aku keluar dulu yach..!!”
                “kemana..??” tanyanya yang lagi asyik dengan teman yang lain.
                “Cuma depen kelas aja koq..!!” jawabku lalu meninggalkannya
                Tak tahu kenapa aku tiba-tiba meninggalkan Laraz yang tak biasanya. Tapi mungkin ini jalan yang telah membawaku dekat dengan Laza. Tepat depan kelas aku melihatnya duduk sendiri. Aku mencoba mendekatinya.
                “koq disini, yang lain mana..??”
                “ke kantin..!!”
                Itu kali pertama aku ngobrol berdua dengannya. Obrolan yang biasa saja. Kucoba tahan perasaanku biar tak terbaca dan kaku dihadapannya. Semua berjalan sempurna seakan aku merencanakan sebelumnya.
                Laza membuat  pikiranku semakin sulit kumengerti. Sosoknya membuatku bertanya-tanya tapi sesekali memberi isyarat padaku kalau dia ingin mengenaliku lebih dekat.
                “oh ya, aku masuk kelas dulu..!!” pamitku tanpa senyum
                “nanti aja..!!” pintanya
                Kutinggalkannya tanpa senyum sambil sejenak memejamkan mata. Kutarik nafasku pelan. Laza tak banyak bicara padaku tapi senyumnya terus terkirim buatku.
                Malam-malamku masih seperti dulu. Belajar, belajar dan belajar meski harus berembuk dengan buku-buku pelajaran. Otakku tak terbilang cerdas tapi aku masih bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah tanpa banyak bantuan dari teman.
                Pagi itu sebelum kelas dimulai
                “hey Treez..!!” tegur Laza sepagi itu sambil menyandarkan punggungnya dipintu kelas.
                “hey..!!” jawabku singkat lalu berlalu darinya.
                Mulai saat itu Laza mencoba menggangguku dengan senyumnya. Tak hanya itu dia mencoba mendekatiku. Benar aku tak percaya, sesuatu itu tak mungkin terjadi. Sosoknya yang begitu menarik menginginkan dekat denganku. Aku yang begitu biasa saja tak memiliki wajah rupawan. Sesekali aku menjauhinya takut kalau itu hanya gurauan atau mungkin lelucon buatku.
                Hari ke hari aku mencoba menengkan pikiranku dan tak terus menghindar darinya. Kuikuti inginnya sekedar mencari tahu niatnya. Sejak saat itu banyak waktu kuhabiskan dengannya meski sebatas berbincang tentang apa yang terjadi.
                Laza baik. Tak seperti apa yang tebayang olehku selama ini. Sikapnya selama ini tanpa rekayasa. Seperti cerita yang seadanya. Tak bisa lagi aku merapikan tingkahku setelah kejadian itu karena terus terbuyarkan olehnya. Usiaku yang masih polos saat itu menjadikan hari-hari menjadi peruntungan buatku.
                “hey Treez, homeworkmu udah..??” Tanya Laraz
                “iyya, ni..!!” kusodorkan buku tulis yang berwarna hijau pada Laraz
                “thanx..!!” jawabnya lalu menyalin semua tugas-tugasku
                Kini aku berada dibulan ke 5. Sikapku masih terlihat sedikit kaku tentang Laza tapi aku tak sedikitpun berbagi semua itu ke Laraz. Laraz tak pernah membahas soal itu meski pernah sekali aku melihat matanya disuguhi sedikit tanda tanya besar ketika melihat Laza menarik tanganku. Entah apa yang harus kulakukan hari itu.
                Waktu ke waktu masih mebuatku ceria tapi aku tak bisa hanyut tentang itu, dikepalaku masih ada segepok pertanyaan. Pertanyaan yang tak bisa kutujukan pada siapa.
                “treez, koq belum keluar..?? Tanya Laraz
                “bentar lagi..!!”
                “ya udah aku duluan, aku tunggu diluar..!!”
                “iyya..!!”
                Pagi itu aku ada kelas olahraga. Tapi sebelumnya semua murid diharapkan untuk kerja bakti, bersih-bersih sekitar sekolah. Kucoba cari waktu agar bisa ngobrol dengan Laza dengan membiarkan Laraz keluar lebih dulu. Kulihat Laza berdiri di koridor depan kelas sepertinya waktu menginginkan itu. Kupandangi wajahnya yang saat itu mengenakan pakaian olahraga. Wajahnya masih tetap sama seperti awal melihatnya.
                Aku menjadi kaku dibuatnya untuk memulai. Entah kenapa aku membiarkannya. Tak ada pilihan selain meninggalkannya. Langkah kakiku sedikit terantuk, ternyata tali sepatuku terlepas dari ikatan pitanya. Kubungkukkan badanku, mataku hanya tertuju pada jari-jariku yang lihai dengan ikatan simpulku.
                “sepatunya kenapa..??” Tanya Laza yang tiba-tiba muncul didepanku
                “ini. Tali sepatunya lepas..!!” jawabku lalu berdiri
                Dengan santai Laza merangkul pundakku dengan senyum yang ia perlihatkan. Detik itu juga aku kaget. Kulepas tangannya dari pundakku lalu memandang wajahnya tanpa senyum. Entah dari mana datangnya si Jogi menampakkan wajahnya yang selalu kuhindari karena kenakalannya. Menertawakanku dengan nada sedikit membuatku tak nyaman.
                “gimana Za, puas..!?” celah Jogi dengan tawa yang menyebalkan.
                Laza tersenyum tanpa kata. Seperti ada rencana yang diketahui oleh Jogi si pengganggu yang selalu kuhindari setiap bertemu.
                Tiba dipekarangan sekolah tempat dimana kerja bakti dimulai. Aku berbaur dengan teman-teman yang lain begitupun dengan Laraz. Saat menikmati tugas itu tiba-tiba tanganku tertusuk duri.
                “aawww, spontan aku menjerit kecil..!!”
                “tangannya kenapa Treez..??” Tanya Laza lembut
                “engga apa-apa..!!”
                Laza meraih tanganku. Matanya tertuju serius pada jari telunjukku yang sedikit berdarah.
                Dasar Jogi si pengganggu yang tiba-tiba muncul dengan sifat buruknya.
                “yaelah Za, kamu ngapain ma Treezna..!?” tanyanya lalu melepaskan tangan Laza
                Tak bisa aku berucap, mengelak Jogipun tak mampu. Suasana hatiku benar-benar kesal. Kesal bukan karena Jogi tapi sikap Laza yang tak tegas. Kekesalan itu membuatku menjauhi Laza tanpa sikap
                Setelah kejadian itu kubiarkan senyum Laza tak terbalas olehku. Kubiarkan sikapnya tanpa teguran dariku. Dan kubiarkan itu berlalu hampir 2 pekan. Tapi tugas sekolah menyatukan kita lagi.ekstra kurikuler mengharuskan aku menegurnya. kali pertama aku mengajaknya kerumah. Mengerjakan tugas sekolah dengan teman yang lainnya. Tak masalah buatku. Dengan itu komunikasi berlanjut lagi dengannya.
                Hampir setahun aku mengenalnya. Saat itu juga dia mencoba berbagi tentang kehidupannya. Setiap dia bercerita aku selalu menjadi pendengar yang baik dan setia. Tak peduli lagi seperti apa sikap Jogi yang perlahan menghilang dengan sendirinya. Kubiarkan hari-hariku penuh dengan senyumannya. Kunikmati setiap sikap yang dia tujukan padaku. Aku bahagia melewati itu semua. Bahagia dengan sikapnya yang mengistimewakanku.
                Sampai suatu ketika sikapnya sedikit berubah. Perlahan namun pasti. Aku tak tahu ada apa dengan Laza. Kucoba reka ulang ingatanku tentangnya tapi tak ada masalah. Kucoba mencuri perhatiannya tapi senyumnya tak semanis dulu. Kudekati dia bermaksud mencari sesuatu yang terjadi. Dia begitu dingin dan tertutup soal itu. Dan disuatu hari yang mengagetkanku. Dia bersikap sedikit tak ramah terhadapku. Aku berusaha memberikan perhatian yang lebih tapi hasilnya nihil. Sangat yakin buatku kalau masalah serius telah dihadapinya. Tak banyak yang bisa kulakukan. Sikap dinginnya memintaku untuk menciptakan jarak darinya
                Tahun ke dua buatku tak nyaman. Laza menghilang tanpa alasan yang jelas. kata teman dia melanjutkan kelasnya di sekolah lain. Kepalaku tak bisa menjangkau tentang dan sikapnya. Ingin kutujukan ada apa dengannya tapi tak tahu pada siapa. Begitupun dengan tempat tinggalnya.
                Saat itu juga aku lost contact dengannya. Kucoba jalani hari-hariku tanpa Laza. Tanpa semua tentangnya. Sedikitnya aku berusaha mencari cara agar ingatanku tak selalu tertuju padanya. Memang tak mudah tapi itu menjadi keharusan buatku.
                Tahun ketiga membuatku tegar. Sampai akhirnya aku meninggalkan seragamku tanpanya. Tak ada berita darinya yang kudengar. Dalam harap aku bisa bertemu dengannya sebelum aku melanjutkan studyku diluar kota.
                Semua tak seperti harapku  waktu berlalu tanpa pernyataan yang jelas. Tiga tahun lebih setelah aku lulus dari sekolah. Waktu itu juga aku telah menyelesaikan studyku. Dan menjadi tahun ke 5 aku tak melihatnya. Banyak kenangan darinya sebelum mengenalnya sampai dia pergi begitu saja.
                Namun entah ada apa. Tiba-tiba aku bertemu denganya di sebuah minimarket. Tanpa sengaja melihatnya. Kucoba pandangi wajahnya dari kejauhan. Sepertinya aku tak mimpi malam itu. Saat melihatnya dia juga mengarahkan pandangannya padaku. Seperti yakin kalau itu dia tapi tak sedikitpun senyum darinya. Mataku seperti tak ingin lepas darinya. Ketika dia berjalan kearahku.
                “Laza,,,??” tanyaku pelan
                Wajah dan fisiknya masih seperti dulu. Senyum singkatnya ia coba tawarkan padaku. Kucoba jabat tangannya dengan hangat,
                “lama tak bertemu, kamu apa kabar..!?”
                “Alhamdulillah baik..!!” jawabnya berdiri tepat dihadapanku
                “tadi aku lihat itu kamu, tapi aku pikir aku salah..!?” ucapku tak tentu
                “iyya, aku juga lihat, tapi kamu engga senyum jadi aku mikir kalau itu cuma mirip kamu. Kamu bagaimana kabarnya. Sekarang tambah cantik..??” tanyanya senyum
                “aku Alhamdulillah baik..!!” dalam hati aku berucap ini tahun ke enam kita terpisah dan akhirnya bertemu juga. Sangat jelas di ingatanku karena aku begitu jeli tentang itu.
                Sejenak aku mengobrol dengannya. Sepertinya aku bahagia dan aku melihat dia menikmatinya.
                “oh iyya, sorry aku harus balik..!!
                “nomor ponselmu berapa..??”
                Kuberikan nomorku padanya. Berharap banyak dia menghubungiku.
                “ ya udah aku duluan..!!” pamitku
                Hampir seminggu aku menunggu kabarnya. Dihari-hari itu juga aku mengira dia sudah lupa terhadapku. Mencoba menguhubunginya lebih dulu melalaui pesan singkat adalah hal yang wajar kulakukan. Dan semua tak seperti yang ada dibenakku. Laza lebih dulu menunggu aku menghubunginya dan bepikir kalau aku tak lagi peduli tentangnya.
                Pertemuan menjadi janji setelahnya. Hari telah ditentukan olehnya untuk menemuiku. Sore itu Laza datang kerumah. Wajahnya nampak segar. Senyumnya seperti yang dulu yang selalu dia tawarkan. Kali ini waktunya diluangkan banyak buatku. Entah mengunjungiku atau hanya melalui ponselnya.
                ia kembali. Laza yang dulu kembali. Laza yang dulu pergi tanpa sepengetahuanku kini kembali membawa kebahagiaan yang dulu dia curi dariku. Banyak cerita tentangnya. Tentang pekerjaan serta studynya yang masih berjalan. Sungguh bisa kutebak perasaanya kini. Yang dulu tertunda.
                Kubiarkan Laza terus mendatangiku. Membawakanku harapan dan senyum terindah setiap bertemu. Kucoba bercerita tentang kisah beberapa tahun silam. Ia tersenyum seperti biasa. Tapi senyumnya berubah jadi diam yang tak jelas ketika aku menanyakan suatu hal yang menurutnya sangat pribadi. Aku cukup tersentak mendengarnya. Hal yang diluar nalarku, diluar logikaku. Laza menghentikan niatku ketika bercerita dengan alazan kenapa dia menghilang. Seperti tanpa semangat aku terpaku di satu arah yang tak jelas.
                Laza mencoba mendekatiku dengan banyak penjelasan. Mencoba memahamiku karena sikapnya. Mencoba mengerti aku dengan berharap banyak tentang masa depanku. Hal yang belum bisa kujawab saat itu juga.
                Sedikit menjauhi setiap ajakannya. Menolak bertemu meski hanya ingin mengajakku jalan. Hari-hari memintaku berpikir soal itu. Sesuatu yang bersifat serius untuk aku dan dia kedepannya. Tak ingin melukainya tapi tak ada pilihan lain. Lambat laun dia mengerti sikapku. Perlahan dia menjauh, menjauh dan menjauh lalu menghilang seperti sebelumnya.
                “sorry Laza. Aku tak bisa dengan keadaan seperti ini. Jika saja aku hidup sendiri pasti sudah kuterima dengan sepenuh hati. Tapi aku tak bisa egois karena mereka masih disekitarku. Don’t worry bout me. I’ll b fine with or without you.Aku yakin kita pasti bahagia tanpa harus bersama. God bye Laza. U’re still d bezt…!!” kata itu yang hampir setiap saat kuucap ketika mengingat tentangnya. Tentang Laza dengan kesempurnaanya.
                                                                                                                                                                lonely room | july |2012 |











Sorry Laza…;

Namanya Laza. Kali pertama aku melihatnya saat usiaku masih dengan seragam putih biru, dengan rok selutut serta kemeja yang pas ditubuhku. Siapa yang engga mengenalnya tampangnya begitu beredar disekolahan. Wajahnya yang putih dan halus menjadi enak dipandang, kulitnya putih bersih, postur tubuhnya ideal kala itu. Penampilannya begitu rapi  tertata dari ujung kepala sampai kaki. Setiap ia tersenyum membuat siapapun yang melihatnya begitu menikmatinya. Kata orang, dengan ia tersenyum membuat wajahnya mirip Justin Timberlake. Sungguh semanis itu yang kulihat. Dan nyatanya memang seperti itu. Wajahnya lucu membuat banyak wanita disekolahan mengaguminya bahkan mungkin banyak yang menginginkannya.
Aku belum tahu perasaanku saat itu. Yang aku tahu selain namanya, aku benar mengaguminya meski aku belum mengenalnya lebih apalagi ngobrol dengannya.
Kelasku kala itu tak pernah satu dengannya, karenanya aku sulit mengenal tentangnya. Mungkin karena itu pikiranku tentangnya sangatlah beda dengan sifatnya yang sebenarnya. Buatku jadi satu kesempatan ketika aku melihatnya tersenyum meski bukan untukku. Tak lama mengaguminya tahun itu harus memisahkan pandanganku darinya begitupun dengan teman-teman yang lainnya.
Setelahnya seragamku berganti menjadi Putih, abu-abu yang menjadikannya  terlihat sedikit menari. Masih dengan rok selutut dan kemeja yang pas ditubuhku. Semua terlihat berbeda tak seperti tahun sebelumnya. Tak pernah terlogiskan olehku kalau tahun itu mempertemukan kita lagi. Secara fisik tak ada yang berubah darinya selain warna seragam yang dikenakannya sama denganku. Wajahnya masih lucu bahkan lebih. Auranya seperti terlihat jelas. Seragam yang dikenakannya nyaris sempurna yang begitu tertata rapi. Bagaimana aku tak tahu soal itu. Setiap pagi yang hampir tujuh jam aku bertemu dengannya dan itu terjadi selama enam hari dalam seminggu.
“oh ALLAH he is back, this is real or am i dreamin’..?!” ucapku dalam hati saat dia duduk dibangku yang tak jauh dariku.
Aku masih menaruh kekaguman padanya meski dalam hati selalu memustahilkan semua tentang itu tapi tidak dengan hari-hari yang selalu menghamburkan senyumnya padaku. Kelaspun memperkenalkan kami. Sungguh masih diluar logikaku. Kali pertama aku mencoba mencuri wajahnya lewat pandanganku. Aku masih merasa tak yakin ketika ia tersenyum padaku. Sampai disuatu waktu diluar jam pelajaran
                “hey, boleh ikutan engga..??” tanyanya senyum berdiri disampingku
                Aku terdiam sesaat. Kupalingkan wajahku kearah Laraz yang kini jadi sahabatku bertanda isyarat buatnya, tapi sayang Laraz tak mengerti maksudku. Tanpa basa-basi Laza duduk disampingku yang membuatku tak bisa berbicara banyak.
                Dan semua berwal dari siang itu. Aku mulai saling mengenal. Kekagumanku padanya terus berlanjut. Laza seakan menyambut baik soal itu. Namun dipikiranku kalau sikapnya hanya untuk menghibur diri karena tak bersama sahabatnya. Ia mencoba membagi senyumnya setiap aku bertatap muka dengannya. Seperti tak ada rekayasa darinya. Semua berjalan senatural itu.
                Hari ke hari membuatku semakin akrab dengannya yang membuatku salalu tersenyum untuknya tapi membuatku juga sulit percaya.
                “engga mungkin Laza seperti itu..!?” bisikku dalam hati
                Ingin sekali aku berbagi soal ini ke Laraz. Tapi melihat wajah Laraz membuatku tak yakin karena semua pasti akan sampai ketelinga yang lain.
                “raz, aku keluar dulu yach..!!”
                “kemana..??” tanyanya yang lagi asyik dengan teman yang lain.
                “Cuma depen kelas aja koq..!!” jawabku lalu meninggalkannya
                Tak tahu kenapa aku tiba-tiba meninggalkan Laraz yang tak biasanya. Tapi mungkin ini jalan yang telah membawaku dekat dengan Laza. Tepat depan kelas aku melihatnya duduk sendiri. Aku mencoba mendekatinya.
                “koq disini, yang lain mana..??”
                “ke kantin..!!”
                Itu kali pertama aku ngobrol berdua dengannya. Obrolan yang biasa saja. Kucoba tahan perasaanku biar tak terbaca dan kaku dihadapannya. Semua berjalan sempurna seakan aku merencanakan sebelumnya.
                Laza membuat  pikiranku semakin sulit kumengerti. Sosoknya membuatku bertanya-tanya tapi sesekali memberi isyarat padaku kalau dia ingin mengenaliku lebih dekat.
                “oh ya, aku masuk kelas dulu..!!” pamitku tanpa senyum
                “nanti aja..!!” pintanya
                Kutinggalkannya tanpa senyum sambil sejenak memejamkan mata. Kutarik nafasku pelan. Laza tak banyak bicara padaku tapi senyumnya terus terkirim buatku.
                Malam-malamku masih seperti dulu. Belajar, belajar dan belajar meski harus berembuk dengan buku-buku pelajaran. Otakku tak terbilang cerdas tapi aku masih bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah tanpa banyak bantuan dari teman.
                Pagi itu sebelum kelas dimulai
                “hey Treez..!!” tegur Laza sepagi itu sambil menyandarkan punggungnya dipintu kelas.
                “hey..!!” jawabku singkat lalu berlalu darinya.
                Mulai saat itu Laza mencoba menggangguku dengan senyumnya. Tak hanya itu dia mencoba mendekatiku. Benar aku tak percaya, sesuatu itu tak mungkin terjadi. Sosoknya yang begitu menarik menginginkan dekat denganku. Aku yang begitu biasa saja tak memiliki wajah rupawan. Sesekali aku menjauhinya takut kalau itu hanya gurauan atau mungkin lelucon buatku.
                Hari ke hari aku mencoba menengkan pikiranku dan tak terus menghindar darinya. Kuikuti inginnya sekedar mencari tahu niatnya. Sejak saat itu banyak waktu kuhabiskan dengannya meski sebatas berbincang tentang apa yang terjadi.
                Laza baik. Tak seperti apa yang tebayang olehku selama ini. Sikapnya selama ini tanpa rekayasa. Seperti cerita yang seadanya. Tak bisa lagi aku merapikan tingkahku setelah kejadian itu karena terus terbuyarkan olehnya. Usiaku yang masih polos saat itu menjadikan hari-hari menjadi peruntungan buatku.
                “hey Treez, homeworkmu udah..??” Tanya Laraz
                “iyya, ni..!!” kusodorkan buku tulis yang berwarna hijau pada Laraz
                “thanx..!!” jawabnya lalu menyalin semua tugas-tugasku
                Kini aku berada dibulan ke 5. Sikapku masih terlihat sedikit kaku tentang Laza tapi aku tak sedikitpun berbagi semua itu ke Laraz. Laraz tak pernah membahas soal itu meski pernah sekali aku melihat matanya disuguhi sedikit tanda tanya besar ketika melihat Laza menarik tanganku. Entah apa yang harus kulakukan hari itu.
                Waktu ke waktu masih mebuatku ceria tapi aku tak bisa hanyut tentang itu, dikepalaku masih ada segepok pertanyaan. Pertanyaan yang tak bisa kutujukan pada siapa.
                “treez, koq belum keluar..?? Tanya Laraz
                “bentar lagi..!!”
                “ya udah aku duluan, aku tunggu diluar..!!”
                “iyya..!!”
                Pagi itu aku ada kelas olahraga. Tapi sebelumnya semua murid diharapkan untuk kerja bakti, bersih-bersih sekitar sekolah. Kucoba cari waktu agar bisa ngobrol dengan Laza dengan membiarkan Laraz keluar lebih dulu. Kulihat Laza berdiri di koridor depan kelas sepertinya waktu menginginkan itu. Kupandangi wajahnya yang saat itu mengenakan pakaian olahraga. Wajahnya masih tetap sama seperti awal melihatnya.
                Aku menjadi kaku dibuatnya untuk memulai. Entah kenapa aku membiarkannya. Tak ada pilihan selain meninggalkannya. Langkah kakiku sedikit terantuk, ternyata tali sepatuku terlepas dari ikatan pitanya. Kubungkukkan badanku, mataku hanya tertuju pada jari-jariku yang lihai dengan ikatan simpulku.
                “sepatunya kenapa..??” Tanya Laza yang tiba-tiba muncul didepanku
                “ini. Tali sepatunya lepas..!!” jawabku lalu berdiri
                Dengan santai Laza merangkul pundakku dengan senyum yang ia perlihatkan. Detik itu juga aku kaget. Kulepas tangannya dari pundakku lalu memandang wajahnya tanpa senyum. Entah dari mana datangnya si Jogi menampakkan wajahnya yang selalu kuhindari karena kenakalannya. Menertawakanku dengan nada sedikit membuatku tak nyaman.
                “gimana Za, puas..!?” celah Jogi dengan tawa yang menyebalkan.
                Laza tersenyum tanpa kata. Seperti ada rencana yang diketahui oleh Jogi si pengganggu yang selalu kuhindari setiap bertemu.
                Tiba dipekarangan sekolah tempat dimana kerja bakti dimulai. Aku berbaur dengan teman-teman yang lain begitupun dengan Laraz. Saat menikmati tugas itu tiba-tiba tanganku tertusuk duri.
                “aawww, spontan aku menjerit kecil..!!”
                “tangannya kenapa Treez..??” Tanya Laza lembut
                “engga apa-apa..!!”
                Laza meraih tanganku. Matanya tertuju serius pada jari telunjukku yang sedikit berdarah.
                Dasar Jogi si pengganggu yang tiba-tiba muncul dengan sifat buruknya.
                “yaelah Za, kamu ngapain ma Treezna..!?” tanyanya lalu melepaskan tangan Laza
                Tak bisa aku berucap, mengelak Jogipun tak mampu. Suasana hatiku benar-benar kesal. Kesal bukan karena Jogi tapi sikap Laza yang tak tegas. Kekesalan itu membuatku menjauhi Laza tanpa sikap
                Setelah kejadian itu kubiarkan senyum Laza tak terbalas olehku. Kubiarkan sikapnya tanpa teguran dariku. Dan kubiarkan itu berlalu hampir 2 pekan. Tapi tugas sekolah menyatukan kita lagi.ekstra kurikuler mengharuskan aku menegurnya. kali pertama aku mengajaknya kerumah. Mengerjakan tugas sekolah dengan teman yang lainnya. Tak masalah buatku. Dengan itu komunikasi berlanjut lagi dengannya.
                Hampir setahun aku mengenalnya. Saat itu juga dia mencoba berbagi tentang kehidupannya. Setiap dia bercerita aku selalu menjadi pendengar yang baik dan setia. Tak peduli lagi seperti apa sikap Jogi yang perlahan menghilang dengan sendirinya. Kubiarkan hari-hariku penuh dengan senyumannya. Kunikmati setiap sikap yang dia tujukan padaku. Aku bahagia melewati itu semua. Bahagia dengan sikapnya yang mengistimewakanku.
                Sampai suatu ketika sikapnya sedikit berubah. Perlahan namun pasti. Aku tak tahu ada apa dengan Laza. Kucoba reka ulang ingatanku tentangnya tapi tak ada masalah. Kucoba mencuri perhatiannya tapi senyumnya tak semanis dulu. Kudekati dia bermaksud mencari sesuatu yang terjadi. Dia begitu dingin dan tertutup soal itu. Dan disuatu hari yang mengagetkanku. Dia bersikap sedikit tak ramah terhadapku. Aku berusaha memberikan perhatian yang lebih tapi hasilnya nihil. Sangat yakin buatku kalau masalah serius telah dihadapinya. Tak banyak yang bisa kulakukan. Sikap dinginnya memintaku untuk menciptakan jarak darinya
                Tahun ke dua buatku tak nyaman. Laza menghilang tanpa alasan yang jelas. kata teman dia melanjutkan kelasnya di sekolah lain. Kepalaku tak bisa menjangkau tentang dan sikapnya. Ingin kutujukan ada apa dengannya tapi tak tahu pada siapa. Begitupun dengan tempat tinggalnya.
                Saat itu juga aku lost contact dengannya. Kucoba jalani hari-hariku tanpa Laza. Tanpa semua tentangnya. Sedikitnya aku berusaha mencari cara agar ingatanku tak selalu tertuju padanya. Memang tak mudah tapi itu menjadi keharusan buatku.
                Tahun ketiga membuatku tegar. Sampai akhirnya aku meninggalkan seragamku tanpanya. Tak ada berita darinya yang kudengar. Dalam harap aku bisa bertemu dengannya sebelum aku melanjutkan studyku diluar kota.
                Semua tak seperti harapku  waktu berlalu tanpa pernyataan yang jelas. Tiga tahun lebih setelah aku lulus dari sekolah. Waktu itu juga aku telah menyelesaikan studyku. Dan menjadi tahun ke 5 aku tak melihatnya. Banyak kenangan darinya sebelum mengenalnya sampai dia pergi begitu saja.
                Namun entah ada apa. Tiba-tiba aku bertemu denganya di sebuah minimarket. Tanpa sengaja melihatnya. Kucoba pandangi wajahnya dari kejauhan. Sepertinya aku tak mimpi malam itu. Saat melihatnya dia juga mengarahkan pandangannya padaku. Seperti yakin kalau itu dia tapi tak sedikitpun senyum darinya. Mataku seperti tak ingin lepas darinya. Ketika dia berjalan kearahku.
                “Laza,,,??” tanyaku pelan
                Wajah dan fisiknya masih seperti dulu. Senyum singkatnya ia coba tawarkan padaku. Kucoba jabat tangannya dengan hangat,
                “lama tak bertemu, kamu apa kabar..!?”
                “Alhamdulillah baik..!!” jawabnya berdiri tepat dihadapanku
                “tadi aku lihat itu kamu, tapi aku pikir aku salah..!?” ucapku tak tentu
                “iyya, aku juga lihat, tapi kamu engga senyum jadi aku mikir kalau itu cuma mirip kamu. Kamu bagaimana kabarnya. Sekarang tambah cantik..??” tanyanya senyum
                “aku Alhamdulillah baik..!!” dalam hati aku berucap ini tahun ke enam kita terpisah dan akhirnya bertemu juga. Sangat jelas di ingatanku karena aku begitu jeli tentang itu.
                Sejenak aku mengobrol dengannya. Sepertinya aku bahagia dan aku melihat dia menikmatinya.
                “oh iyya, sorry aku harus balik..!!
                “nomor ponselmu berapa..??”
                Kuberikan nomorku padanya. Berharap banyak dia menghubungiku.
                “ ya udah aku duluan..!!” pamitku
                Hampir seminggu aku menunggu kabarnya. Dihari-hari itu juga aku mengira dia sudah lupa terhadapku. Mencoba menguhubunginya lebih dulu melalaui pesan singkat adalah hal yang wajar kulakukan. Dan semua tak seperti yang ada dibenakku. Laza lebih dulu menunggu aku menghubunginya dan bepikir kalau aku tak lagi peduli tentangnya.
                Pertemuan menjadi janji setelahnya. Hari telah ditentukan olehnya untuk menemuiku. Sore itu Laza datang kerumah. Wajahnya nampak segar. Senyumnya seperti yang dulu yang selalu dia tawarkan. Kali ini waktunya diluangkan banyak buatku. Entah mengunjungiku atau hanya melalui ponselnya.
                ia kembali. Laza yang dulu kembali. Laza yang dulu pergi tanpa sepengetahuanku kini kembali membawa kebahagiaan yang dulu dia curi dariku. Banyak cerita tentangnya. Tentang pekerjaan serta studynya yang masih berjalan. Sungguh bisa kutebak perasaanya kini. Yang dulu tertunda.
                Kubiarkan Laza terus mendatangiku. Membawakanku harapan dan senyum terindah setiap bertemu. Kucoba bercerita tentang kisah beberapa tahun silam. Ia tersenyum seperti biasa. Tapi senyumnya berubah jadi diam yang tak jelas ketika aku menanyakan suatu hal yang menurutnya sangat pribadi. Aku cukup tersentak mendengarnya. Hal yang diluar nalarku, diluar logikaku. Laza menghentikan niatku ketika bercerita dengan alazan kenapa dia menghilang. Seperti tanpa semangat aku terpaku di satu arah yang tak jelas.
                Laza mencoba mendekatiku dengan banyak penjelasan. Mencoba memahamiku karena sikapnya. Mencoba mengerti aku dengan berharap banyak tentang masa depanku. Hal yang belum bisa kujawab saat itu juga.
                Sedikit menjauhi setiap ajakannya. Menolak bertemu meski hanya ingin mengajakku jalan. Hari-hari memintaku berpikir soal itu. Sesuatu yang bersifat serius untuk aku dan dia kedepannya. Tak ingin melukainya tapi tak ada pilihan lain. Lambat laun dia mengerti sikapku. Perlahan dia menjauh, menjauh dan menjauh lalu menghilang seperti sebelumnya.
                “sorry Laza. Aku tak bisa dengan keadaan seperti ini. Jika saja aku hidup sendiri pasti sudah kuterima dengan sepenuh hati. Tapi aku tak bisa egois karena mereka masih disekitarku. Don’t worry bout me. I’ll b fine with or without you.Aku yakin kita pasti bahagia tanpa harus bersama. God bye Laza. U’re still d bezt…!!” kata itu yang hampir setiap saat kuucap ketika mengingat tentangnya. Tentang Laza dengan kesempurnaanya.
                                                                                                                                                                lonely room | july |2012 |











Sorry Laza…;

Namanya Laza. Kali pertama aku melihatnya saat usiaku masih dengan seragam putih biru, dengan rok selutut serta kemeja yang pas ditubuhku. Siapa yang engga mengenalnya tampangnya begitu beredar disekolahan. Wajahnya yang putih dan halus menjadi enak dipandang, kulitnya putih bersih, postur tubuhnya ideal kala itu. Penampilannya begitu rapi  tertata dari ujung kepala sampai kaki. Setiap ia tersenyum membuat siapapun yang melihatnya begitu menikmatinya. Kata orang, dengan ia tersenyum membuat wajahnya mirip Justin Timberlake. Sungguh semanis itu yang kulihat. Dan nyatanya memang seperti itu. Wajahnya lucu membuat banyak wanita disekolahan mengaguminya bahkan mungkin banyak yang menginginkannya.
Aku belum tahu perasaanku saat itu. Yang aku tahu selain namanya, aku benar mengaguminya meski aku belum mengenalnya lebih apalagi ngobrol dengannya.
Kelasku kala itu tak pernah satu dengannya, karenanya aku sulit mengenal tentangnya. Mungkin karena itu pikiranku tentangnya sangatlah beda dengan sifatnya yang sebenarnya. Buatku jadi satu kesempatan ketika aku melihatnya tersenyum meski bukan untukku. Tak lama mengaguminya tahun itu harus memisahkan pandanganku darinya begitupun dengan teman-teman yang lainnya.
Setelahnya seragamku berganti menjadi Putih, abu-abu yang menjadikannya  terlihat sedikit menari. Masih dengan rok selutut dan kemeja yang pas ditubuhku. Semua terlihat berbeda tak seperti tahun sebelumnya. Tak pernah terlogiskan olehku kalau tahun itu mempertemukan kita lagi. Secara fisik tak ada yang berubah darinya selain warna seragam yang dikenakannya sama denganku. Wajahnya masih lucu bahkan lebih. Auranya seperti terlihat jelas. Seragam yang dikenakannya nyaris sempurna yang begitu tertata rapi. Bagaimana aku tak tahu soal itu. Setiap pagi yang hampir tujuh jam aku bertemu dengannya dan itu terjadi selama enam hari dalam seminggu.
“oh ALLAH he is back, this is real or am i dreamin’..?!” ucapku dalam hati saat dia duduk dibangku yang tak jauh dariku.
Aku masih menaruh kekaguman padanya meski dalam hati selalu memustahilkan semua tentang itu tapi tidak dengan hari-hari yang selalu menghamburkan senyumnya padaku. Kelaspun memperkenalkan kami. Sungguh masih diluar logikaku. Kali pertama aku mencoba mencuri wajahnya lewat pandanganku. Aku masih merasa tak yakin ketika ia tersenyum padaku. Sampai disuatu waktu diluar jam pelajaran
                “hey, boleh ikutan engga..??” tanyanya senyum berdiri disampingku
                Aku terdiam sesaat. Kupalingkan wajahku kearah Laraz yang kini jadi sahabatku bertanda isyarat buatnya, tapi sayang Laraz tak mengerti maksudku. Tanpa basa-basi Laza duduk disampingku yang membuatku tak bisa berbicara banyak.
                Dan semua berwal dari siang itu. Aku mulai saling mengenal. Kekagumanku padanya terus berlanjut. Laza seakan menyambut baik soal itu. Namun dipikiranku kalau sikapnya hanya untuk menghibur diri karena tak bersama sahabatnya. Ia mencoba membagi senyumnya setiap aku bertatap muka dengannya. Seperti tak ada rekayasa darinya. Semua berjalan senatural itu.
                Hari ke hari membuatku semakin akrab dengannya yang membuatku salalu tersenyum untuknya tapi membuatku juga sulit percaya.
                “engga mungkin Laza seperti itu..!?” bisikku dalam hati
                Ingin sekali aku berbagi soal ini ke Laraz. Tapi melihat wajah Laraz membuatku tak yakin karena semua pasti akan sampai ketelinga yang lain.
                “raz, aku keluar dulu yach..!!”
                “kemana..??” tanyanya yang lagi asyik dengan teman yang lain.
                “Cuma depen kelas aja koq..!!” jawabku lalu meninggalkannya
                Tak tahu kenapa aku tiba-tiba meninggalkan Laraz yang tak biasanya. Tapi mungkin ini jalan yang telah membawaku dekat dengan Laza. Tepat depan kelas aku melihatnya duduk sendiri. Aku mencoba mendekatinya.
                “koq disini, yang lain mana..??”
                “ke kantin..!!”
                Itu kali pertama aku ngobrol berdua dengannya. Obrolan yang biasa saja. Kucoba tahan perasaanku biar tak terbaca dan kaku dihadapannya. Semua berjalan sempurna seakan aku merencanakan sebelumnya.
                Laza membuat  pikiranku semakin sulit kumengerti. Sosoknya membuatku bertanya-tanya tapi sesekali memberi isyarat padaku kalau dia ingin mengenaliku lebih dekat.
                “oh ya, aku masuk kelas dulu..!!” pamitku tanpa senyum
                “nanti aja..!!” pintanya
                Kutinggalkannya tanpa senyum sambil sejenak memejamkan mata. Kutarik nafasku pelan. Laza tak banyak bicara padaku tapi senyumnya terus terkirim buatku.
                Malam-malamku masih seperti dulu. Belajar, belajar dan belajar meski harus berembuk dengan buku-buku pelajaran. Otakku tak terbilang cerdas tapi aku masih bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah tanpa banyak bantuan dari teman.
                Pagi itu sebelum kelas dimulai
                “hey Treez..!!” tegur Laza sepagi itu sambil menyandarkan punggungnya dipintu kelas.
                “hey..!!” jawabku singkat lalu berlalu darinya.
                Mulai saat itu Laza mencoba menggangguku dengan senyumnya. Tak hanya itu dia mencoba mendekatiku. Benar aku tak percaya, sesuatu itu tak mungkin terjadi. Sosoknya yang begitu menarik menginginkan dekat denganku. Aku yang begitu biasa saja tak memiliki wajah rupawan. Sesekali aku menjauhinya takut kalau itu hanya gurauan atau mungkin lelucon buatku.
                Hari ke hari aku mencoba menengkan pikiranku dan tak terus menghindar darinya. Kuikuti inginnya sekedar mencari tahu niatnya. Sejak saat itu banyak waktu kuhabiskan dengannya meski sebatas berbincang tentang apa yang terjadi.
                Laza baik. Tak seperti apa yang tebayang olehku selama ini. Sikapnya selama ini tanpa rekayasa. Seperti cerita yang seadanya. Tak bisa lagi aku merapikan tingkahku setelah kejadian itu karena terus terbuyarkan olehnya. Usiaku yang masih polos saat itu menjadikan hari-hari menjadi peruntungan buatku.
                “hey Treez, homeworkmu udah..??” Tanya Laraz
                “iyya, ni..!!” kusodorkan buku tulis yang berwarna hijau pada Laraz
                “thanx..!!” jawabnya lalu menyalin semua tugas-tugasku
                Kini aku berada dibulan ke 5. Sikapku masih terlihat sedikit kaku tentang Laza tapi aku tak sedikitpun berbagi semua itu ke Laraz. Laraz tak pernah membahas soal itu meski pernah sekali aku melihat matanya disuguhi sedikit tanda tanya besar ketika melihat Laza menarik tanganku. Entah apa yang harus kulakukan hari itu.
                Waktu ke waktu masih mebuatku ceria tapi aku tak bisa hanyut tentang itu, dikepalaku masih ada segepok pertanyaan. Pertanyaan yang tak bisa kutujukan pada siapa.
                “treez, koq belum keluar..?? Tanya Laraz
                “bentar lagi..!!”
                “ya udah aku duluan, aku tunggu diluar..!!”
                “iyya..!!”
                Pagi itu aku ada kelas olahraga. Tapi sebelumnya semua murid diharapkan untuk kerja bakti, bersih-bersih sekitar sekolah. Kucoba cari waktu agar bisa ngobrol dengan Laza dengan membiarkan Laraz keluar lebih dulu. Kulihat Laza berdiri di koridor depan kelas sepertinya waktu menginginkan itu. Kupandangi wajahnya yang saat itu mengenakan pakaian olahraga. Wajahnya masih tetap sama seperti awal melihatnya.
                Aku menjadi kaku dibuatnya untuk memulai. Entah kenapa aku membiarkannya. Tak ada pilihan selain meninggalkannya. Langkah kakiku sedikit terantuk, ternyata tali sepatuku terlepas dari ikatan pitanya. Kubungkukkan badanku, mataku hanya tertuju pada jari-jariku yang lihai dengan ikatan simpulku.
                “sepatunya kenapa..??” Tanya Laza yang tiba-tiba muncul didepanku
                “ini. Tali sepatunya lepas..!!” jawabku lalu berdiri
                Dengan santai Laza merangkul pundakku dengan senyum yang ia perlihatkan. Detik itu juga aku kaget. Kulepas tangannya dari pundakku lalu memandang wajahnya tanpa senyum. Entah dari mana datangnya si Jogi menampakkan wajahnya yang selalu kuhindari karena kenakalannya. Menertawakanku dengan nada sedikit membuatku tak nyaman.
                “gimana Za, puas..!?” celah Jogi dengan tawa yang menyebalkan.
                Laza tersenyum tanpa kata. Seperti ada rencana yang diketahui oleh Jogi si pengganggu yang selalu kuhindari setiap bertemu.
                Tiba dipekarangan sekolah tempat dimana kerja bakti dimulai. Aku berbaur dengan teman-teman yang lain begitupun dengan Laraz. Saat menikmati tugas itu tiba-tiba tanganku tertusuk duri.
                “aawww, spontan aku menjerit kecil..!!”
                “tangannya kenapa Treez..??” Tanya Laza lembut
                “engga apa-apa..!!”
                Laza meraih tanganku. Matanya tertuju serius pada jari telunjukku yang sedikit berdarah.
                Dasar Jogi si pengganggu yang tiba-tiba muncul dengan sifat buruknya.
                “yaelah Za, kamu ngapain ma Treezna..!?” tanyanya lalu melepaskan tangan Laza
                Tak bisa aku berucap, mengelak Jogipun tak mampu. Suasana hatiku benar-benar kesal. Kesal bukan karena Jogi tapi sikap Laza yang tak tegas. Kekesalan itu membuatku menjauhi Laza tanpa sikap
                Setelah kejadian itu kubiarkan senyum Laza tak terbalas olehku. Kubiarkan sikapnya tanpa teguran dariku. Dan kubiarkan itu berlalu hampir 2 pekan. Tapi tugas sekolah menyatukan kita lagi.ekstra kurikuler mengharuskan aku menegurnya. kali pertama aku mengajaknya kerumah. Mengerjakan tugas sekolah dengan teman yang lainnya. Tak masalah buatku. Dengan itu komunikasi berlanjut lagi dengannya.
                Hampir setahun aku mengenalnya. Saat itu juga dia mencoba berbagi tentang kehidupannya. Setiap dia bercerita aku selalu menjadi pendengar yang baik dan setia. Tak peduli lagi seperti apa sikap Jogi yang perlahan menghilang dengan sendirinya. Kubiarkan hari-hariku penuh dengan senyumannya. Kunikmati setiap sikap yang dia tujukan padaku. Aku bahagia melewati itu semua. Bahagia dengan sikapnya yang mengistimewakanku.
                Sampai suatu ketika sikapnya sedikit berubah. Perlahan namun pasti. Aku tak tahu ada apa dengan Laza. Kucoba reka ulang ingatanku tentangnya tapi tak ada masalah. Kucoba mencuri perhatiannya tapi senyumnya tak semanis dulu. Kudekati dia bermaksud mencari sesuatu yang terjadi. Dia begitu dingin dan tertutup soal itu. Dan disuatu hari yang mengagetkanku. Dia bersikap sedikit tak ramah terhadapku. Aku berusaha memberikan perhatian yang lebih tapi hasilnya nihil. Sangat yakin buatku kalau masalah serius telah dihadapinya. Tak banyak yang bisa kulakukan. Sikap dinginnya memintaku untuk menciptakan jarak darinya
                Tahun ke dua buatku tak nyaman. Laza menghilang tanpa alasan yang jelas. kata teman dia melanjutkan kelasnya di sekolah lain. Kepalaku tak bisa menjangkau tentang dan sikapnya. Ingin kutujukan ada apa dengannya tapi tak tahu pada siapa. Begitupun dengan tempat tinggalnya.
                Saat itu juga aku lost contact dengannya. Kucoba jalani hari-hariku tanpa Laza. Tanpa semua tentangnya. Sedikitnya aku berusaha mencari cara agar ingatanku tak selalu tertuju padanya. Memang tak mudah tapi itu menjadi keharusan buatku.
                Tahun ketiga membuatku tegar. Sampai akhirnya aku meninggalkan seragamku tanpanya. Tak ada berita darinya yang kudengar. Dalam harap aku bisa bertemu dengannya sebelum aku melanjutkan studyku diluar kota.
                Semua tak seperti harapku  waktu berlalu tanpa pernyataan yang jelas. Tiga tahun lebih setelah aku lulus dari sekolah. Waktu itu juga aku telah menyelesaikan studyku. Dan menjadi tahun ke 5 aku tak melihatnya. Banyak kenangan darinya sebelum mengenalnya sampai dia pergi begitu saja.
                Namun entah ada apa. Tiba-tiba aku bertemu denganya di sebuah minimarket. Tanpa sengaja melihatnya. Kucoba pandangi wajahnya dari kejauhan. Sepertinya aku tak mimpi malam itu. Saat melihatnya dia juga mengarahkan pandangannya padaku. Seperti yakin kalau itu dia tapi tak sedikitpun senyum darinya. Mataku seperti tak ingin lepas darinya. Ketika dia berjalan kearahku.
                “Laza,,,??” tanyaku pelan
                Wajah dan fisiknya masih seperti dulu. Senyum singkatnya ia coba tawarkan padaku. Kucoba jabat tangannya dengan hangat,
                “lama tak bertemu, kamu apa kabar..!?”
                “Alhamdulillah baik..!!” jawabnya berdiri tepat dihadapanku
                “tadi aku lihat itu kamu, tapi aku pikir aku salah..!?” ucapku tak tentu
                “iyya, aku juga lihat, tapi kamu engga senyum jadi aku mikir kalau itu cuma mirip kamu. Kamu bagaimana kabarnya. Sekarang tambah cantik..??” tanyanya senyum
                “aku Alhamdulillah baik..!!” dalam hati aku berucap ini tahun ke enam kita terpisah dan akhirnya bertemu juga. Sangat jelas di ingatanku karena aku begitu jeli tentang itu.
                Sejenak aku mengobrol dengannya. Sepertinya aku bahagia dan aku melihat dia menikmatinya.
                “oh iyya, sorry aku harus balik..!!
                “nomor ponselmu berapa..??”
                Kuberikan nomorku padanya. Berharap banyak dia menghubungiku.
                “ ya udah aku duluan..!!” pamitku
                Hampir seminggu aku menunggu kabarnya. Dihari-hari itu juga aku mengira dia sudah lupa terhadapku. Mencoba menguhubunginya lebih dulu melalaui pesan singkat adalah hal yang wajar kulakukan. Dan semua tak seperti yang ada dibenakku. Laza lebih dulu menunggu aku menghubunginya dan bepikir kalau aku tak lagi peduli tentangnya.
                Pertemuan menjadi janji setelahnya. Hari telah ditentukan olehnya untuk menemuiku. Sore itu Laza datang kerumah. Wajahnya nampak segar. Senyumnya seperti yang dulu yang selalu dia tawarkan. Kali ini waktunya diluangkan banyak buatku. Entah mengunjungiku atau hanya melalui ponselnya.
                ia kembali. Laza yang dulu kembali. Laza yang dulu pergi tanpa sepengetahuanku kini kembali membawa kebahagiaan yang dulu dia curi dariku. Banyak cerita tentangnya. Tentang pekerjaan serta studynya yang masih berjalan. Sungguh bisa kutebak perasaanya kini. Yang dulu tertunda.
                Kubiarkan Laza terus mendatangiku. Membawakanku harapan dan senyum terindah setiap bertemu. Kucoba bercerita tentang kisah beberapa tahun silam. Ia tersenyum seperti biasa. Tapi senyumnya berubah jadi diam yang tak jelas ketika aku menanyakan suatu hal yang menurutnya sangat pribadi. Aku cukup tersentak mendengarnya. Hal yang diluar nalarku, diluar logikaku. Laza menghentikan niatku ketika bercerita dengan alazan kenapa dia menghilang. Seperti tanpa semangat aku terpaku di satu arah yang tak jelas.
                Laza mencoba mendekatiku dengan banyak penjelasan. Mencoba memahamiku karena sikapnya. Mencoba mengerti aku dengan berharap banyak tentang masa depanku. Hal yang belum bisa kujawab saat itu juga.
                Sedikit menjauhi setiap ajakannya. Menolak bertemu meski hanya ingin mengajakku jalan. Hari-hari memintaku berpikir soal itu. Sesuatu yang bersifat serius untuk aku dan dia kedepannya. Tak ingin melukainya tapi tak ada pilihan lain. Lambat laun dia mengerti sikapku. Perlahan dia menjauh, menjauh dan menjauh lalu menghilang seperti sebelumnya.
                “sorry Laza. Aku tak bisa dengan keadaan seperti ini. Jika saja aku hidup sendiri pasti sudah kuterima dengan sepenuh hati. Tapi aku tak bisa egois karena mereka masih disekitarku. Don’t worry bout me. I’ll b fine with or without you.Aku yakin kita pasti bahagia tanpa harus bersama. God bye Laza. U’re still d bezt…!!” kata itu yang hampir setiap saat kuucap ketika mengingat tentangnya. Tentang Laza dengan kesempurnaanya.
                                                                                                                                                                lonely room | july |2012 |